Perempuan bernama Kersen terbangun ketika matahari telah tiba pada seperempat hari. Orang-orang bergegas dengan mantel melekat di tubuh masing-masing dan sebuah gasing. Gasing tersebut berada pada genggaman orang-orang yang sempat untuk menolehkan matanya dan pandangannya kepada Kersen dan sebuah bungkusan. Mulutnya telah cukup mencecap air susu yang mengalir melalui mata air. Setiap kali orang-orang itu melintas, mata mereka terbuka dan membelalak seukuran bak. Seorang lelaki dengan kumis tebal dan sepatu hitam yang permukaannya telah disemir oleh seorang lelaki yang kepalanya selalu tertunduk ke arah bebatuan di kaki setiap pelayan, menoleh ke arahnya dengan melemparkan dua buah koin. Koin tersebut memiliki warna yang sama dengan warna air yang mengalir. Kersen segera menjatuhkan pandangannya ke arah dua benda yang terdengar nyaring di kedua rongga telinga. Kedua tangannya memeluk sebuah kain yang warna dan teksturnya serupa dengan jerami yang berbaris rapi. Jerami-jerami tersebut menjadi alas ketika ia menaiki kereta yang membawanya menuju kota. Setelah perutnya terisi penuh air susu, Kersen menuruni jalanan dan menunggu hingga sebuah kereta kuda melintas dengan tanpa tumpukan kertas. Kersen membawa kabut yang ditemukannya pada sepanjang jalan yang ditempuhnya. Kabut-kabut tersebut melekat di permukaan jerami dan tertinggal pada gaun yang mempertemukannya pada banyak tolehan dengan mulut terkatup tanpa kesiap. Ia mengangkat wajahnya ke arah jendela yang merupakan sebuah toko buku yang dijagai oleh seorang perempuan yang menjadikan senyuman sebagai sebuah iklan.
Perempuan tersebut menolehkan wajahnya ke arah muka jendela. Ia tersenyum sambil melambaikan tangan. Rambutnya berwarna kuning dan memiliki aroma mentega. Sebuah sarung tangan berwarna merah dengan pinggiran berwarna biru tua tergantung di depan jendela yang terbuka sebagian. Perempuan tersebut membuka pintu toko dan memperkenalkan dirinya sebagai Jeruk, sesaat setelahnya ia terbatuk. Perempuan bernama Jeruk tersebut menatap lurus ke arah bola mata, wajah, dan helaian rambut Kersen. Toko buku yang dimilikinya memiliki ruangan yang hangat, tanpa keramaian yang ditimbulkan oleh kepingan yang terlempar atau dilemparkan dari sebuah tangan. “Orang-orang pada akhir musim dingin, sebelum salju pertama tiba, akan menyampaikan banyak hal tentang keberangkatan dan nyanyian angin yang masih dalam perjalanan. Sebagian orang mati lebih awal daripada jadwal yang telah ditentukan. Mereka mempersiapkan ruangan kamar yang tak memiliki cahaya, sebuah tempat tidur yang terbuat dari papan tanpa derak dan kerak yang ditinggalkan dan ditanggalkan oleh bilangan tahun-tahun penuh cerca. Rasa takut ditumbuhkan diam-diam melalui bisikan yang diantarkan oleh pembawa kertas surat dan amplop yang dijentik oleh jemari yang bergetar dan pandangan yang nanar,” perempuan bernama Jeruk tertawa kemudian. Ia menyusulnya dengan sebuah perkataan bahwa benda-benda yang terpajang di jendela toko adalah benda-benda yang telah menuntaskan rasa takut setiap pemilik yang bertaut. Ia menyebutkan sarung tangan, kemeja kotak-kotak abu-abu yang sekali waktu dipakai oleh seseorang yang mampu membebaskan dirinya dari kematian di permukaan es batu dan juga gunung es yang saljunya ketika membeku, bahkan tak pernah menetes ke mulut pelagu dan peragu. Sambil tertawa, ia berkata bahwa lelaki yang pernah memakai kemeja tersebut adalah lelaki yang pernah menjadi kekasihnya, seseorang yang memahami perbedaan arah angin dan cuaca. Keduanya berpisah ketika lelaki yang pernah menjadi kekasihnya memakai pakaian hangat dengan tanpa sebuah kemeja terpaut.
Lelaki tersebut kemudian berjalan menelusuri sungai yang berkelindan, menaiki gunung dan gemawan, serta melompati tebing dan bebatuan. Ia mati di atas permukaan batu dan rumput-rumput yang tumbuh memanjang ke arah langit yang satu. Perempuan bernama Jeruk kemudian menghela napas panjang dan berkata bahwa setiap orang yang tinggal di kota diperkenankan untuk tidak saling mengetahui nama dan judul buku yang dibaca. Judul buku yang dibaca oleh seseorang di suatu tempat, meja kafe, sudut restoran, dan taman dengan gigil sebagai teman adalah sebuah rahasia yang sebaiknya disimpan di dalam lembaran buku harian. Ia kemudian berkata bahwa buku harian adalah benda yang tersimpan di atas lemari buku yang berdampingan dengan sebuah benda, kotak, yang dapat mengeluarkan suara pada waktu-waktu tertentu. Ketika hujan benar-benar tidak turun. Ketika langkah kaki manusia perlahan meninggalkan jeda setiap rumah, penghentian, dan pemberhentian tiap-tiap kereta yang tiba di stasiun dengan langkah yang lamban. Ketika seseorang atau dua orang tak menjadikan toko buku sebagai tempat pertemuan hati yang tergugu. Setiap perempuan yang tinggal di dalam kamarnya, akan menghampiri toko yang dimilikinya pada akhir bulan, ketika buku harian yang ia tulisi setiap hari telah tiba pada halaman terakhir penulisan. Perempuan-perempuan tersebut tak akan memilih buku yang sama dengan buku yang pernah dibelinya atau didapatinya dalam sebuah kotak pada bulan-bulan sebelumnya. Buku harian dengan sampul bunga dalam sebuah vas, latar kuning dan sela-sela hijau pias. Warna dasar hitam dan taburan polkadot putih salju dengan kata yang dicetak menggunakan tinta merah muda. Di sekelilingnya, terdapat goresan hitam mengilap yang mendekat ke arah kilat. Kilat lampu atau kilat matahari ketika perempuan-perempuan penulis buku harian mengarahkan sampul buku demi menemukan sebagian ingatan yang memuai bersamaan dengan ketukan. Dua orang lelaki bermantel gelap kemudian menyelinap. Kersen kemudian seperti pernah menemukan dua wajah serupa pada waktu yang sama, yaitu pada hari ketika ia tiba. Ketika ia menoleh ke arah toko buku yang didengarnya melalui bisikan yang tiba pada saat paling tepat untuk mengucapkan sebuah sumpah dengan tanpa menyertakan amarah. Dua orang lelaki bermantel gelap tersebut melintas dengan menolehkan pandangan serta kelopak yang membelalak. Saat itu, ia terhenyak dan tersentak.
Dua orang lelaki bermantel gelap berjalan dengan cepat, dengan sepatu yang bertalu di atas permukaan batu. “Rasanya, aku seperti pernah melihat wajah yang sama,” gumam Kersen sambil menatap punggung kedua lelaki tersebut, sebelum keduanya menghilang ditelan kabut. Perempuan bernama Jeruk berkata bahwa kota itu dihuni oleh banyak penduduk. Sebagian orang memiliki wajah yang sama, bentuk hidung yang sama, dan kelopak mata yang juga sama. Pakaian mudah ditemukan di permukaan kulit yang dilekat dengan perlahan oleh seseorang yang memajang pakaian yang aromanya memiliki aroma yang sama dengan kulit kerang yang dipajang pada salah satu siang. Sebagian orang yang terbangun pada pukul tujuh, pagi hari, dengan mencuci banyak kain dan menciptakan banyak gelembung sabun, memilih bentangan kain serupa, kain yang sama, pun warna yang sama. Namun, orang-orang yang memiliki topi sejumlah banyaknya bilangan hari, tak pernah memilih judul buku yang sama dengan hari sebelumnya ketika asbak di permukaan meja lebih menggemari kepulan dan tatapan dua orang asing yang menghitung pergerakan roda pedati di dalam hati. Perempuan penjaga toko buku berujar tentang jumlah buku yang dituntaskannya pada akhir minggu ketika pengunjung terakhir, seorang lelaki bertopi yang enggan melepaskan topinya di muka pintu, berkisah tentang seekor kucing beserta empat ekor anak kucing yang tertidur di sebuah keramaian yang tak beralasan. Ia bertanya kepada perempuan penjaga toko buku tentang judul buku yang tokoh utamanya adalah seekor kucing yang dapat berbicara tentang dunia dan sebagainya. “Fabel?” tanya perempuan penjaga toko buku ketika menyampirkan gugu ke dalam sela-sela buku. Sementara jemarinya yang sedikit berbuku telah kehilangan sedikit debu yang disampirkan seseorang yang masih dapat melucu di mula-mula sebuah perjumpaan dengan seseorang yang pandai berkilah.