Burung-burung mematuki remah-remah, sebagian merebah di permukaan hamparan tanah. Dua buah tiang tertambat di atas sebuah bentangan kawat. Seseorang melintas dengan membawa cawat yang melekat di tubuhnya yang membawa tanda bagi setiap mata yang melihat. Bahwa ia memiliki tulang belikat sebagai tanda bahwa ia kuat, seperti tumpukan batu yang terjatuh pada pukul empat. Kersen melangkahkan kaki ke arah deburan dengan dua buah buku di pangkuan. Burung gagak mengeluarkan suara berupa pertanyaan tentang kabar yang disampir setelah berulang kali, angin hantarkan tamparan. Paruhnya telah kering dari amis darah dan belukar yang mengering sebelum pertengahan musim, bersamaan dengan daun yang meranggas dari setiap pohon dan perempuan berusia tua yang waktunya dihabiskan dengan menunggui buku-buku dan jemarinya kerontang ketika menimang pena dan tungku yang kemudian digunakannya untuk berdiang. Daun-daun itu seperti helaian rambut yang tinggal di atas kepalanya, pun matanya yang tak bisa membedakan wujud serta telinganya tak mampu bedakan suara. Setiap kali seseorang, lelaki tua, hampiri permukaan meja untuk tanyakan tentang jadwal kunjungan dan judul buku tertentu, perempuan itu selalu terkekeh dan berkisah tentang anak lelakinya yang gemar mengumpulkan segala jenis kertas berwarna cokelat untuk disimpannya dalam sebuah lemari yang dibuatnya seorang diri. Orang-orang yang menghampirinya akan menyediakan kedua telinga untuk mendengarkan. Juga sampaikan gumaman. Tentang anak lelakinya yang bekerja di pusat kota, memakai pakaian paling rapi, mulut dan senyum yang sebelumnya telah disemir dan dicuci dalam bak mandi beraromakan perca dan pecahan sabun.
Anak lelakinya adalah seorang dokter, memiliki puluhan jas dan kemeja, serta memiliki mata yang selalu awas melihat segala jenis pertanda dan merasakan segala macam syak wasangka. Anak lelakinya adalah penghafal judul buku dan mampu menandaskan bacaan hingga seekor kucing yang tinggal di salah satu ruangan dalam rumah tuanya akan menjumpai sekarat lebih dulu daripada kedua matanya yang terpaku pada salah satu halaman buku. Kucing keempatnya telah lama mati dengan membawa cemburu pada gugu yang ditumpahkannya setiap kali ia menjumpai kisah dan cerita-cerita sendu. Tentang seorang pangeran yang mencintai seorang perawan yang tak mampu melawan segala jenis hantaman. Setiap tokoh utama yang adalah seorang lelaki selalu berakhir dengan bahagia tersampir. Sementara setiap tokoh perempuan akan berakhir pada setiap tempat yang mampu menahan dan menawan. Perasaan-perasaan seperti cinta dan kesukaan kepada segala jenis benda kemudian menjadi tak lebih dari tanda-tanda serupa tanda baca di salah satu halaman ataupun kalimat yang ditata dan sebagian ia serapahi ketika matahari tiba untuk menutup hari.
Perempuan tua penjaga buku selalu berkisah dengan cara yang sama. Ia selalu tak bisa membedakan wajah yang tiba ke hadapan mejanya, wajah yang sama, wajah yang serupa, ataukah wajah yang berbeda, wajah dengan rupa yang tak sama. Pada seseorang, perempuan berambut sebahu, yang kepala dan rambut cokelatnya dilingkungi kain serupa bando, perempuan tua penjaga buku akan sampaikan kisah tentang anak lelakinya yang adalah seorang dokter dan memiliki helaian kertas surat berwarna merah muda. Kertas surat itu memiliki aroma serupa tubuh bayi yang baru terlempar ke dunia selama lima belas hari, satu bulan, atau enam bulan. Harum aromanya akan tiba ke permukaan pintu, tempat ia menyimpan dan meletakkan sebagian dirinya yang telah lama menyimpan sedu dan teriakan yang tak perlu.
Anak lelakinya gemar menulis surat dan akan mengirimkannya pada pertengahan tahun, pada musim panas paling ranggas, ketika salah satu dinding rumah terjatuh ke permukaan tanah. Setelah menempuh bilangan tahun dan usia untuk menekuri langit serta membilang jumlah tetesan yang hilang. Anak lelakinya yang adalah seorang dokter akan membilang berbagai macam bejana dan panci yang lengang dari tetesan serta ilalang. Ia memiliki seratus orang teman yang akan sampaikan sepucuk surat balasan dari bilangan kertas yang deras. Hujan kata-kata dan tangisan pada salah satu bagian yang membahas tentang orang-orang yang menjemput kematian dengan mata menatapi langit-langit, bola lampu, bayangan dan kicauan burung gagak yang acapkali bertengger di atas sebuah atap dengan membawa nyanyian tentang jumlah piring di sebuah ring. Anak lelakinya akan membawa ingatan yang dalam tentang salah satu lelaki tua dengan rambut putih di keseluruhan. Kedua matanya telah lama buta oleh tanda-tanda dan kata. Anak perempuannya adalah orang paling bebal yang kedua telinganya selalu kebal dari segala macam nasihat dan amanat. Setiap kali seseorang tiba memasuki pintu rumahnya untuk sampaikan kabar tentang cuaca dan embusan angin, dua buah sumbat selalu dilekatkannya kuat-kuat. Hingga cuaca dan angin tak lagi dapat tinggal di dalam ruang, tempat ia membilang tentang lebar dan panjang. Juga lenjang atau tidaknya sebuah langkah kaki yang dipapah. Sementara kereta yang melaju ke arah orang-orang menuju adalah orang-orang yang telah memiliki rencana dan panggilan, ajakan yang disampaikan dari jarak terjauhnya untuk menerjemahkan tanda-tanda.
Perempuan tua penjaga buku-buku akan mencatat setiap nama peminjam buku pada baris dan lajur yang telah ditentukan, serupa barisan. Ia kelak akan menjumpai angka-angka dan bilangan yang sama. Ketika setiap peminjam berpapasan di ruas jalan, seseorang akan mengingatnya sebagai seorang pejalan. Pejalan yang sedang menempuh perjalanan ke arah yang sama, dengan kedua tangan menggenggam buku sehingga mata dan wajah yang melekat, tak memiliki sempat untuk melucu. Di tengah kota, seorang lelaki bertubuh rendah, dengan rambut serupa gulali dan kembang gula akan melemparkan banyak bola ke arah setiap mata yang tertawan. Pun perawan yang mulutnya terkatup ketika melahap buku dan menunggu kedatangan seseorang yang tak biasa melagu. Segala jenis nyanyian dan panggilan kepada punggung dan lumbung.
Kepada seseorang yang rambutnya juga memiliki helaian putih yang sama seperti rambut di kepalanya, perempuan tua penjaga buku-buku akan berkisah tentang anak lelakinya yang adalah seorang dokter yang telah menyembuhkan banyak pasien. Tubuhnya serupa roti yang dipanggang dengan waktu paling tepat dan benar sehingga pada saat ia berjalan di samping pasar atau toko buku dan pakaian yang memajang gaun, setiap kelopak yang tinggal di sebuah bunga dan pot bunga akan menghangat seperti awal musim panas di sebuah gelas. Seseorang akan menghampiri tubuhnya, menggenggam tangannya, meninggalkan pelukan, menghadiahinya setangkai bunga, menunjukkan jalan agar kelak kedua matanya tak ditutupi jelaga.
Anaknya yang adalah seorang dokter tersebut memiliki nama yang tinggal di setiap permukaan kertas yang dicetak setiap enam bulan sekali atau satu tahun sekali, untuk dipajang di samping sebuah meja, di dalam deret lemari kaca, serta kertas tebal berupa undangan untuk menyesap teh dan menghirup aroma kopi pada waktu pagi. Setiap pejalan akan mengingat namanya, beserta tanda baca yang terselip di salah satu bagian, dan menandainya sebagai salah satu di antara banyak lampu yang melekat di sebuah dinding yang terbuat dari bata paling kokoh, yang tak akan rapuh ketika seseorang menghampirinya dengan mata yang ranum dan basah oleh air serta garam yang karam dalam temaram. Anak lelakinya yang adalah seorang dokter akan membalas setiap sapaan dengan sapaan yang sama, kilahan dengan kilahan, pelukan dengan pelukan, yang jumlahnya melebihi gundukan kapas di suatu tempat sehingga air sungai yang melintas di sebuah jembatan tak akan pernah menjumpai sumbat dan alirannya tak akan pernah mampat.
Pada petang hari, dengan jumlah senyum yang tuntas dikumpulkannya, anak lelakinya yang adalah seorang dokter tersebut akan memasuki ruang kerjanya untuk melakukan percakapan dengan tubuhnya, telinganya, dan surat-surat yang belum sempat terbaca dan terbalas karena kesibukan. Burung gagak akan terperanjat setiap kali kedua tangannya hampiri jendela untuk membuka daunnya. Burung gagak tersebut akan perlahan hampiri tiang yang sampaikan cahaya kepada setiap pejalan yang melintas dengan kertas pembungkus jagung dan kotak pengemas ingatan tentang penanam jagung di sebuah ladang dan pematang. Kemudian perlahan, burung gagak itu akan hampiri burung gagak yang mulutnya terkatup di samping sebuah kereta yang permukaannya telah dingin dan beku, menempa segala jenis musim yang tiba dan memangkas segala macam penantian tentang laku dan tipu. Sebuah ledakan akan terdengar dari kejauhan ketika anak lelakinya yang adalah seorang dokter, membuka salah satu laci untuk menemukan catatan hariannya menangani seorang pasien berusia tua. Seorang perempuan yang telah terbaring lama di salah satu tempat tidur dengan napas yang ia tabung di salah satu sekat dalam tubuhnya yang likat. Perempuan itu memiliki dua orang cucu yang sedang dalam perjalanannya untuk tiba di permukaan sebuah pohon yang tinggi menjulang hingga ke langit-langit dan kepakan burung-burung yang melintas ke arah asap yang membumbung. Pada akhir musim dingin, perempuan tua berusia delapan puluh lima tersebut telah menutup kedua kelopak mata dan membalas segala jenis panggilan dengan sentuhan jemari yang berwarna putih segar dan memiliki kuku berwarna merah muda. Kedua kelopak matanya akan bergetar ketika seseorang sampaikan kabar tentang cuaca yang terkalahkan musim dan hujan yang tertelan oleh teriakan. Sementara kedua telinganya akan mendengar setiap panggilan dan menafsirkannya sebagai sebuah sentuhan dari kedua cucunya yang masih dalam perjalanan dan sesekali keliru membedakan arah angin. Ketika salah satu berkata bahwa arah angin yang benar adalah kiri, salah seorang cucunya akan berkata bahwa arah angin yang tepat adalah kanan. Pada awal tahun, ketika salju sedang turun lebat bersamaan dengan guguran bulu yang melingkungi bola matanya, kedua telinganya mendengar bisikan dua orang perempuan yang berkata tentang tujuan dan perkiraan tentang kematian.
Anak lelaki perempuan penjaga toko buku akan bertanya tentang kedua cucunya yang masih dalam perjalanan panjang menuju perjumpaan. Kemudian perempuan tua berusia delapan puluh lima yang telah menyimpan tuberkolosis dalam tubuhnya akan berkata bahwa kedua cucunya kelak akan menjadi pria. Mereka memiliki tinggi tubuh yang sama, wajah serupa, kedua mata berkantung mata, dan pipi yang halus bagai pualam dalam sekam. Saat keduanya berbicara, bercakap di ruang tengah tentang hentakan kuda dan berbagai jenis benda yang dapat dihadiahkan dan dikirimkan kepada seseorang, perempuan bergaun dan memakai topi yang memiliki untaian pita dan serumpun bunga, setiap telinga yang asing akan menafsirkannya sebagai suara yang berasal dari mulut yang sama. Kemudian seseorang, tamu, yang tiba seusai menempuh perjalanan yang jauh akan sodorkan sebuah surat berjumlah satu kepada salah satunya dan berkata bahwa itu adalah serupa pintu.
Perempuan penjaga buku menawarkan sebuah buku berisi kisah-kisah tentang sembilu kepada salah seorang pengunjung deretan buku. Ia pada pertama kali lintasan langkah kaki menuju ruang perpustakaan, memiliki tawa di mulut dan jumlah bunga yang ditanamnya sepanjang perjalanan yang selalu dianggapnya sebagai sebuah tamasya. Perempuan penjaga buku mengisahkan salah satu buku yang sampulnya serupa kulit manusia yang dipisahkan pada tengah malam dengan sebuah belati berbentuk hati, tanpa karat di sela-sela, pun ruas yang memisahkan antara halaman pertama dengan halaman tengah yang mengisahkan puncak cerita yang tak berkesudahan. Helaian rambutnya, ketika ia bercerita, tiba di permukaan halaman buku dan sampul salah satu buku yang sampulnya berupa sepucuk surat bertanda tangan seorang lelaki tua, penanam bunga, penata kebun, yang jendela beserta kacanya tergambar lewat tanda tangannya. Ia tiba di permukaan helaian buku, sekilas berwarna abu-abu, kemudian tampak putih pucat serupa telur yang direbus selama tiga puluh menit oleh perempuan penjaga buku yang seluruh waktunya selalu dihabiskannya untuk memikirkan segala sesuatu tentang buku, dengan mengabaikan laku. Lelaki di hadapan hidung dan tumpukan buku kemudian tertawa dan berkata bahwa ia telah menamatkan semua buku yang berderet di lemari buku yang memisahkan orang-orang yang tak pernah lagi tergugu meski matanya terpaku pada lautan perempuan yang matanya pada akhir waktu, terpaku pada bayu. Karena ragu dan khawatir pada segala hal yang memiliki kemungkinan untuk muncul dalam pikiran perempuan penjaga buku, lelaki pengunjung perpustakaan kemudian mengisahkan salah satu halaman yang dibacanya hingga tuntas sebelum pulas. Saat itu, ia membacanya dengan mata setengah mengantuk dan ingatan yang lamat tentang beberapa sosok dalam hidupnya yang wajah, kelopak mata, seringai tawa, dan luapan embusan napasnya dapat ia hapal di luar kepala, saat menunggu jeda.
Sebuah pergantian salah satu bab dengan bab yang lain yang tak menjanjikan kejutan. Lelaki itu menyamakan salah satu tokoh dalam sebuah buku dengan ibu yang melahirkannya yang seluruh waktunya ia habiskan untuk mengupas dan memisahkan kulit bawang dari bagian kemudian membelah-belah lapisannya ke dalam sebuah mangkuk besar yang ia letakkan di hadapan sebuah pintu yang selalu tertutup kemudian. Pintu itu selalu menjadi pemisah antara pembaca dengan orang-orang yang hidup dan tinggal dalam buku-buku yang dibaca. Matanya selalu awas pada segala macam pergerakan yang memiliki kemungkinan untuk terjadi di sela-sela pembacaannya pada sebuah buku bacaan. Saat pintu rumahnya dibuka secara tiba-tiba oleh seseorang selain ibu yang melahirkannya, seseorang akan tiba di muka jendela untuk menyampaikan tentang kabar yang terjadi selama ia menghabiskan waktu dengan memasuki halaman buku dan menjadikannya sebagai salah satu yang tertawan. Pintu kamarnya selalu dibukanya lebih dahulu daripada pintu jendela kaca, tempat seseorang, perempuan berambut kuning, menghadiahinya tanda-tanda tentang sebuah petaka yang terjadi di sebuah rumah yang di dalamnya tak terdapat butiran bawang dan sebuah mangkuk berisi air untuk merendam potongan bawang yang setengahnya ia pindahkan ke dalam panci untuk kemudian ia matangkan bersama potongan daging dan irisan urat yang memiliki kerat. Pintu kamarnya akan ia buka setelah perempuan berambut kuning berpindah ke dalam salah satu halaman buku dan menyisakan seringai tawa di permukaan bantal yang memiliki sejumlah alat makan yang ketika ia tiba permukaan dinding, akan membuat penggenggamnya terpental.
Ibu yang melahirkannya akan berkata banyak hal tentang serapah yang disampaikan oleh lelaki penjual bawang dan pengiklan kembang gula yang tak pernah habis meski ia memajangnya selama seharian di samping sebuah rumah, di depan sebuah pagar, pada sebuah halaman yang tepinya saling bertautan. Dengan mulut dan suara yang berbisik, ibu yang melahirkannya akan membisiki banyak kisah tentang orang-orang yang menutup pintu dengan perlahan seperti ia mengembuskan napas dan membiarkan udaranya tersisa hingga bertahun-tahun sebelum salah satu serangga memangkas dan menelan segala macam ketertinggalan. Matanya telah berhenti berkaca dan mengeluarkan air ketika setiap jendela yang mengelilingi empat bagian rumahnya dihampiri oleh perempuan berambut kuning yang meninggalkan ketukan tanpa menyisakan tubuh, pun bayangan penabuh. Ia si pembaca akan menelan segala macam sahutan yang timbul dan terdengar dari sebuah jalan yang memisahkan ruas orang-orang penggemar telenovela, opera sabun, dan konser musik yang dipindahkan ke dalam layar kaca di sebuah rumah yang dua buah lampunya mati sebelum waktunya, sebelum seseorang berkilah tentang jadwal dan keterlambatan semacam keterlambatan yang biasa dialami oleh sebuah kereta di stasiun. Atau sebuah pesawat yang melintasi tiba dengan membawa puluhan orang-orang yang wajahnya terekam di suatu tempat, tersimpan, tercatat sebagai salah satu wajah yang kelak akan tinggal lebih lama dari bilangan usia yang ditakar dan dikarang-karang di suatu tempat dengan mulut dan rongga yang tercekat. Saat orang-orang menabung gada dan keliru menafsirkan arah angin, seorang penunggu pesawat akan lesatkan sebuah peluru untuk menjadikannya salah satu kabar, satu di antara banyak tanda-tanda yang kemudian menyampaikannya pada pemberi kabar tentang cuaca.