Perempuan bernama Kersen baru saja menguraikan rambutnya setelah memilinnya selama dua minggu yang diiringi oleh hujan deras di muka pintu. Ditambah dengan satu bulan yang berkelindan. Mulutnya memiliki aroma gincu yang berasal dari sebuah botol berukir ayam emas, berpatuk dan berekor emas yang menghadap ke arah tepi jendela berbingkai putih yang merepih pada akhir petang di samping alang-alang. Ia telah memutuskan untuk tidak mengecat helaian rambut yang tinggal di atas kepalanya sehingga ketika ia berhadapan dengan genangan air dalam sebuah pot bunga berdiameter setengah meter yang berdampingan dengan sebuah bak yang sesekali waktu digunakannya untuk menenggelamkan tubuh dan ingatan tentang jumlah buku yang belum dibacanya pada akhir musim dingin, yang didapatinya adalah cokelat serupa tanah yang dipijaknya dalam perjalanan menuju lantai dua sebuah rumah yang diapit oleh dua buah tiang yang seluruhnya dicat dengan warna putih susu tanpa sembilu. Di tengah-tengah ataupun di sela-sela.
Seseorang menepuk pundaknya sekali waktu untuk mengabarkan tentang salah satu judul buku, sampulnya berwarna biru tua serupa lautan paling dalam yang menjadi rumah bagi hewan-hewan berukuran raksasa yang usianya selalu bertambah dari tahun ke tahun, abad ke abad, menembus berbagai jenis bongkahan, memamah segala jenis pakaian, hingga memuntahkan banyak tulang yang pada awal musim panas akan kembali ke permukaan. Untuk berenang dengan tenang sambil menunggu kedatangan. Tanpa mencemaskan perpisahan antara seorang ibu dengan seorang anak, seorang tua dengan seorang muda, seorang guru dengan seorang murid, serta embusan angin dengan kereta yang melanju dengan pelan. Angin tak pernah berhasil menyelinap ke dalam ruangan depan yang setiap dindingnya memiliki hiasan berupa buku yang terbit sejak musim panas masih awas di dalam bejana berkaca yang kacanya dihias dengan cat yang tak pernah kering meskipun musim panas tiba lebih lama, melebihi jumlah pejalan yang melintasi kota dengan sepatu kulit hitam yang dapat memantulkan orang-orang yang gemar berkelakar tentang laut, burung-burung, serta gemar mengadakan kompetisi menembaki burung-burung yang terbang secara berombongan dari salah satu bentangan langit yang pekat pada pertengahan musim dingin. Bunga menghiasi salah satu meja yang membelakangi jendela lebar yang kacanya menjadi pemisah antara seorang lelaki berkemeja yang mulut serta laku lampahnya selalu ramai oleh kisah yang berlainan, tentang sapi perah ataupun lembaran yang harus dirambah pada suatu waktu yang tak dilalui oleh sapaan seseorang yang gemar berujar tentang segala sesuatu yang harus dihalau, kalau-kalau angin semacam angin ribut tiba melebihi laju kereta ataupun keranda pembawa aba-aba.
Lelaki itu menyodorkan sebuah buku bersambul biru tua dengan seekor ikan berwarna kuning di keseluruhan tubuh, dengan kedua mata bulat hitam tanpa ketam. Ikan berwarna kuning tersebut tampak sangat bahagia ketika seekor pemancing, lelaki berusia sekitar empat belas tahun dengan rambut serupa dengan kulit ikan yang tertawa dengan perut yang dipegangi sekuat tenaga agar pagi dan malam harinya selalu ramai oleh embusan angin tanpa menyertakan muntahan di dalamnya, pun rusa-rusa yang berbaris dengan hentakan tertahan demi mendapatkan tetesan air yang memercik dari laut yang dimasukinya ketika lelaki berusia empat belas tersebut melontarkan kelakar tentang setangkai bunga yang tersimpan dalam pot seukuran gelas raksasa milik seorang saudagar yang memiliki jumawa dan keranda. Dalam rongga mulut yang kelak akan mengeluarkan sendawa paling panjang yang mampu membangunkan seorang perempuan bermahkota rantai dan bergelang kawat serta memiliki mulut serupa genangan merah tua yang masih menunggu dalam sebuah kawah yang belum pernah dilintasi oleh kaki seorang tua yang mulutnya akan terbatuk begitu ikan besar berwarna kuning tersebut tiba di dasar laut, sebelum akhirnya ia terlelap dengan kedua telinga yang kedap.
Perempuan bernama Kersen tersebut melontarkan pertanyaan tentang judul buku tanpa menyertakan sembilu di dalamnya sehingga lelaki berkemeja memiliki tawa lebih lebar melebihi tawa orang-orang yang berkunjung ke rumah itu demi memastikan letak bunga dan letak vas berada pada tempat yang tepat. Lelaki itu berkelakar dengan kisah yang belum pernah disampaikannya kepada orang lain, pengunjung rumah tersebut pada waktu-waktu ketika belati dan belacu menjadi salah satu benda yang ditukar dan dijajakan di salah satu pasar, sementara seorang pelaju sebuah pedati, memiliki suara panggilan yang sama kepada lima ribu pasukan. Mereka berkuda dan memiliki seragam serta sepatu yang sama. Mereka memiliki nama yang sama sehingga ketika seseorang semacam angin memanggilnya, salah satu pasukan berkuda, yaitu ia yang menempati posisi paling depan, akan menolehkan wajah, kepala, dan mulutnya agar kabar tentang perjalanan yang telah ditempuh dapat tiba ke atas meja.
Lelaki tersebut memiliki kebiasaan membaca buku saat hujan sehingga ketika hujan tak juga turun, hal yang dilakukan kemudian adalah merentangkan kedua tangan dan membuka lembaran yang halamannya tak memiliki kata-kata, suara, pertanda, ataupun panggilan yang kemudian akan memindahkan tubuhnya dari kursi yang telah didudukinya selama berabad-abad ataupun bertahun-tahun. Seseorang akan tiba di depan pintu untuk mengabarkan tentang kedatangan, perihal kedatangan hujan yang sebagian tetesannya menempati salah satu amplop yang direkatkan oleh tetesan darah lelaki paling akhir yang melintasi rel kereta dengan sebuah amunisi yang disimpan dalam kantung celana berkatup yang akan mengeluarkan dering begitu seseorang membunyikan peluit yang bertujuan untuk membangunkan. Ketika amplop yang sebagian besar berwarna merah hati, sebagian berwarna biru serupa sampul buku itu dibukanya, hal yang didengarnya adalah tetesan hujan yang tak diikuti dengan gemuruh ataupun ketaman di permukaan jalan.