Cintai Aku Tanpa Buah Dada

Eka Retnosari
Chapter #6

PERJALANAN KERSEN DAN APEL MENERJEMAHKAN SUARA ULAR

Ada orang-orang yang bertugas untuk menahan air mata di pelupuk mata seseorang yang memiliki hati setipis kapas dan awan musim panas. Orang-orang tersebut tinggal di perbatasan setiap kota yang dijagai oleh penjaga bertubuh besar dengan kedua lengan menyerupai godam yang tahan pada segala bentuk hantaman. Kedua telapak tangan yang mereka memiliki lebih lebar dari ukuran daun yang tinggal di sebuah pohon paling lebar yang buahnya selalu ranum tiap akhir tahun sehingga orang-orang yang berencana untuk melakukan tamasya, kunjungan yang membuahkan hasil serupa tanda-tanda keselamatan akan menjadikan buah tersebut sebagai suvenir yang menjadi satu dalam sebuah keranjang. Keranjang-keranjang tersebut dipajang menyerupai pagar, membentuk pagar, agar orang asing yang datang akan melintasinya dengan membawa ingatan tentang jarak yang harus ditempuh oleh manusia untuk bisa sampai dan melintasi suatu tempat ke tempat lain, kota yang satu ke kota lain, daerah yang gersang ke daerah yang ramai oleh muntahan air yang alirannya tak berkesudahan. Tangan mereka mampu menahan barisan mata yang berderet, berjajar, hingga tiba pada dinding yang memisahkan jurang dengan permukiman penduduk yang memiliki jadwal untuk terisak pada waktunya dan tertawa pada waktunya. Jurang tersebut memiliki kepalan tangan yang terangkat ke angkasa tiap kali seorang lelaki berdada busung mengabarkan tentang sebuah kereta yang dapat memuat banyak manusia yang merindukan kota yang di dalamnya tak terdapat rasa taut dan kecemasan pada ketukan. Pada pertengahan bulan, ketika seorang perempuan yang memiliki rambut paling kuning mulai memasuki dapur untuk memasak dan menjerang air yang kemudian akan menjadi tempat berenang puluhan apel dan stroberi yang dipotong dan dibelah searah dengan jarum jam yang dipasang di samping rel kereta yang hanya akan dilintasi tiap-tiap musim memanen tiba dan seseorang pembawa keraguan, duka, dan semacamnya, membahasakan alasan sebagai sebuah penundaan pada perjumpaan dengan penduduk kota lampu yang di dalamnya penuh dengan kisah tak berkesudahan tentang hewan-hewan yang perutnya tak pernah memiliki rasa lapar serta mulutnya tak pernah merasakan dahaga, kerontang, dan sahutan kepada tetesan. 

Ada sebuah kota yang penduduknya tak pernah meneteskan air mata. Setiap anak kecil berusia tujuh tahun akan berlarian pada permulaan hari untuk menyampaikan salam kepada jerami, dinding rumah seseorang, dan bingkai jendela seorang nona yang kulitnya selalu kemilau bagaikan porselen meskipun ia tak pernah membasuhnya dengan air mandi ataupun bongkahan. Meski mereka dapat berlari kencang, setiap kaki yang melangkah ataupun berjalan tak pernah terjatuh sehingga setiap anak tak memiliki sempat untuk mengaduh. Penduduk kota tersebut memiliki daun telinga berwarna putih bersih, tak memiliki noda ataupun perubahan yang mengikuti gejala, cuaca, ataupun tanda-tanda yang disampirkan langit dan letupan yang disampaikan oleh seseorang yang tak menyimpan peta ataupun kertas penanda tanda baca di salah salah satu halaman yang mereka tanami dengan tanaman-tanaman yang dapat mereka gunakan untuk memasak ataupun tanaman yang dapat digunakan sebagai obat penguat ingatan dan tubuh yang menyangga setiap penabuh. Mereka menanam bawang, seledri, cabai-cabai yang tak memiliki biji, buah arbei yang tak pernah mengalami perubahan warna, serta daun paling lebar seukuran tangan raksasa yang kelak akan menjadi penggantinya, kalau-kalau sepasang tangan itu tak sanggup lagi menahan setiap mata untuk terjatuh ke tempat terjauh. Demi menggelindingkan semacam duka cita, kesedihan yang menahun, serta rasa sakit atas pertanyaan-pertanyaan yang tak memiliki jawaban.

Namun, penduduk kota tersebut, tak pernah memiliki rasa duka. Ketika daun-daun tersebut tumbuh, melebar, meranggas hingga menembus cabai tanpa biji di dalamnya, hal yang mereka putuskan kemudian adalah memetik setiap helainya kemudian memindahkannya ke dalam bilah-bilah kotak dan menjadikannya sebagai salah satu paket, hadiah, yang akan disampaikan kepada kota tempat perempuan bernama Kersen tinggal, tumbuh, kemudian mencatat tanggal-tanggal yang biasa digunakan oleh penduduk untuk tertawa dan berduka, menangis atau tertawa pada waktu yang sama. Meski ranum, perempuan yang berselisih usia dengannya selama tiga hingga empat tahun, akan akan mematuhi jadwal untuk tiba di stasiun kereta. Menunggu kedatangan gerbong yang memuat daun-daun berukuran lebar yang sebagian telah ditunggu, dinanti, dinanti-nanti oleh salah satu keluarga yang tak memiliki perapian atau seorang lelaki tua yang tubuhnya tinggi sehingga ketika menuda, ia tak akan memiliki sempat untuk membungkukkan tubuh ke arah daun pintu yang bergerak karena tertiup angin dan kotak surat yang tak memiliki surat meski seseorang telah memiliki pesawat radio dan memasang lampu terbaru di halaman rumah agar seorang lelaki berkemeja dan bercelana cokelat mendapatkan penerangan yang cukup ketika ia mendapatkan surat yang didapatnya dari kantor pos yang menjadi tempatnya menitipkan segala jenis pesan. Surat, kartu pos, salam, rindu, dan daun-daun berukuran lebar yang memiliki fungsi untuk menghentikan air mata kalau-kalau ia mengalami benturan dalam dada semacam patah hati atau rasa rindu dan cinta berlebih yang tak tersampaikan sehingga ia menjadi genangan yang berkelindan. 

Lelaki berkemeja dan bercelana cokelat tersebut akan tersandung pada bongkahan batu yang sama setiap kali kedua matanya usai melahap salah satu halaman kertas surat dan memasukkannya dengan tergesa ke dalam saku celana. Lelaki itu, pada bongkahan keseribu, tak akan memiliki sempat untuk mengaduh ataupun lemparkan sauh. Pada akhir tahun, ia mendatangi kantor pos, pelabuhan, dan stasiun kereta untuk mendaftarkan dirinya sebagai salah satu di antara banyak pelalu-lalang yang kelak akan mendapatkan daun berukuran paling lebar yang akan ditempatkannya di sudut mata. Daun berukuran lebar tersebut kemudian tiba di pangkuan ketika ia menghabiskan ratusan hari demi menemukan namanya tertera di salah satu kotak yang juga dipesan oleh salah satu penduduk yang memiliki jadwal untuk menutup pintu dan memasang tirai selama berhari-hari. Wajahnya sumringah ketika sekotak daun berukuran lebar, dibawanya menuju ruang kamar yang tak akan mempertemukannya dengan telapak tangan lelaki yang bertugas di perbatasan dengan palu dan alu yang dapat digunakan oleh salah seorang tamu untuk memperbaiki permukaannya ketika sebuah peluru tiba dan bersarang di dalam kulit yang menghadap ke arah langit.

Perempuan bernama Kersen kemudian memutuskan untuk menjadi salah satu yang menjadi pengunjung yang berkunjung ke kota yang di dalamnya tak terdapat lelaki bertangan lebar yang sesekali memiliki tugas untuk menyamar. Setelah menuruni kereta, perempuan bernama Kersen berjumpa dengan Apel yang keranjangnya memiliki ruang yang cukup untuk mengemas daun-daun yang dapat mengemas perkakas yang dapat menahan rongga hidungnya untuk menghirup dan mengembuskan napas sekali waktu, sesekali, hingga ia terbebas dari rasa duka. Apel memiliki kegemaran mengingat tanggal yang mempertemukannya dengan orang-orang berwajah baru, dengan bentuk hidung berlainan satu sama lain sehingga ketika sebuah perlintasan menjadi tumpuan yang menumbuhkan harapan, ia tak merasakan hal itu sebagai sebuah tamparan. Kepada perempuan bernama Kersen, Apel berkisah tentang madu yang tersimpan dalam sebuah vas berukuran raksasa dan tak memiliki celah di salah satu bagian atapun bilah. Setiap orang yang berkunjung untuk merasakan bahagia, akan menghampiri vas tersebut untuk merasakan manis yang didapat dari madu yang hanya beberapa tetes saja. 

Lihat selengkapnya