Cintai Aku Tanpa Buah Dada

Eka Retnosari
Chapter #7

SEKERANJANG JERUK, APEL, DAN PENUNJUK JALAN

Setelah mati karena bunuh diri, tergantung di permukaan pagar bergerigi kawat berhiaskan tulang ayam dan ikan berduri, lelaki itu tiba di sebuah lorong gelap tanpa cahaya menyinari. Lelaki dengan hiasan kapas di keseluruhan tubuh berjalan menelusuri lorong sebelum akhirnya berpapasan dengan orang-orang yang pernah bertemu wajah ketika hidup dalam sebuah celah. Ia memiliki gelambir yang tertinggal di bawah dagu sehingga orang-orang yang berpapasan dengannya akan mengenalnya sebagai seseorang yang pernah mengakrabkan diri di samping perapian. Saat itu, kepulan asap sedang menjadi salah satu hiasan di langit yang membentang dan melingkungi kepalanya yang ranum oleh ingatan dan bayang-bayang. Lelaki itu memiliki tudung kepala beraromakan ayam yang dipanggang pada waktu bersamaan di sebuah bukit yang setiap tepi kanan dan kirinya ditanami pepohonan berbentuk tubuh perempuan berusia tujuh belas yang kedua telinganya penuh dengan suara-suara ular yang didapatnya ketika ia bertamasya ke dalam hutan, tinggal dalam sebuah gua, dan menanam padi di sebuah lahan yang ditunggui oleh seorang nenek yang mulutnya selalu berwarna merah darah dan memiliki banyak waktu untuk merebah. Lorong yang dilaluinya meskipun gelap, sekalipun gelap dan berampingan dengan rel kereta, tak dilalui kereta. Perempuan-perempuan berjumlah sekitar sembilan belas berjajar di samping rel kereta dengan gaun dan pakaian terakhir yang dipakainya ketika bunuh diri di sebuah restoran yang menyajikan menu sapi panggang dan irisan keju serta jagung rebus yang ditaburi garam serta jampi-jampi dari mulut seorang juru masak yang tangan dan jemarinya telah terlatih untuk melemparkan percikan dan sahutan kepada benang-benang yang alpa terjalin di permukaan serat piring. Ia membilang jumlah kain serbet yang ditinggalkan oleh setiap mayat yang matanya belum sempat tertutup sehingga setiap kelopak mata, bola mata, selalu memiliki sempat untuk mengingat wajah orang terakhir yang melihatnya membawa nampan dan ingatan. 

Perempuan-perempuan yang pernah berpapasan dengannya di suatu tempat, memakai jubah putih bertopi, bersandar di permukaan dinding, mengepulkan asap sepanjang lima batang rokok yang di dalamnya tak terdapat tembakau ataupun ramai aroma madat. Lelaki itu menatap ke arah telapak tangannya dan mendapati semburat hitam serupa helaian rambut yang ditinggalkan oleh seorang juru masak yang lidahnya telah terpotong sejak gunung di tepi pantai telah kehilangan isi dan pepohonan yang biasa menancap di permukaan. Semburat hitam beserta telapak tangan yang dimilikinya kemudian ia dekatkan ke arah wajahnya dan ditemukannya bayangan hitam itu kian melebar membentuk piring ceper dengan warna lebih pekat daripada seluruh malam yang pernah dilaluinya dengan tanpa mengenakan alas kaki ataupun guyuran hujan dari penghujung langit ataupun atap-atap rumah yang dihuni oleh seorang biru dan seseorang yang mulutnya telah berhenti berkata-kata sehingga kelak menjelang pagi yang akan menyampaikan segala tanda kepada pelalu-lalang adalah orang-orang yang melekat di permukaan dinding, menunggu hingga matahari pagi membangunkan dan mengingatkan tentang bilangan. Waktu dan semacamnya, yang tak lagi ditungggu-tunggu di depan pintu atau sehamparan kalbu. 

Orang-orang yang melekatkan tubuhnya ke permukaan dinding kemudian tak temukan pagi seperti ia tak temukan bayangan wajah dan tubuh, telinga serta mulut ketika ia beradu pandang dengan kaca yang memisahkan orang-orang, pelalu-lalang, dengan patung perempuan tanpa rambut di dalam toko yang matanya telah berhenti bersedih sejak penabuh gada dan pelesat meriam memperdengarkan kabar tentang kereta terpotong dan anak kecil bergaun putih yang tangisannya masih dapat terdengar hingga ke permukaan tempat tidur yang menjadi alas bagi seorang tua yang perkiraan dan taksirannya tentang kematian selalu tak mengenai sasaran. Ia ketika mendapati bayangan hitam itu terbang bersamaan embusan angin beraroma kereta yang usang dan masai serta seluruh bongkahannya memiliki aroma serupa selongsong yang dijatuhkan dan dianyam di permukaan lantai seperti benang-benang atau kayu yang dihalang-halang agar ingatan tak memuai lantas hilang. 

Lelaki itu tak menemukan ketrekejutan di raut wajahnya ataupun di permukaan kulit yang kebal dan bebal pada gigil yang berasal dari seorang lelaki yang kedua batang kakinya terkapar di permukaan lantai dengan sepatu paling akhir yang digunakannya untuk memanjat sebuah gedung setinggi lima lantai yang setiap tepinya memiliki empat buah penangkal petir sehingga seorang lelaki pongah berahang gahar akan lapang hati menyesap batang rokok bermesiu dengan mantel yang masih memiliki jumlah kancing yang lengkap sehingga kelak ketika embusan asap rokoknya tiba ke permukaan kaca jendela seorang nona yang telinganya selalu sepi dari tanda seru dan hardikan, yang akan berterima kemudian adalah pemantik yang tiba ke dalam perapian yang nyalanya bukanlah salah satu di antara jutaan pilihan. Ia kemudian menaksir dan mengarang-karang nama atau sapaan yang harus ia lontarkan kepada perempuan, salah satunya, yang tubuhnya melekat di permukaan dinding lorong yang sekali waktu pernah mendapatkan hantaman dari permukaan rel yang dilintasi dan dilalui oleh sebuah kereta yang hanya muncul sekali dalam setahun atau pada waktu-waktu tertentu, ketika hujan sedang dipindahkan dari kota yang seluruh penduduknya lebih gemar menatapi televisi daripada pemandangan luar jendela. Ke sebuah desa atau permukiman atau desa atau kawasan yang anak-anak kecil berusia delapan tahunnya tak pernah mengkhayalkan sepatu dan kaus kaki sebagai hiasan di muka pintu sehingga seseorang tak akan menjadikannya sebagai kejutan daripada hidangan yang tertata pada waktu-waktu tertentu seperi peringatan kelahiran. 

Hujan kemudian menjadi hiasan di bawah langit yang tertahan hingga seseorang membuka jendela dan sampaikan kabar bahwa pertunjukan telah selesai, orang-orang yang mengabaikan pasta gigi akan kembali ke permukaan tempat tidur untuk merapatkan dan menaikkan kain selimut tipis berwarna kotoran yang aromanya memiliki ingatan yang sama dengan embusan lebah atau kibasan ekor kucing yang melintas di lorong apartemen yang salah satu pintunya dihuni, ditempati oleh seseorang yang sedang dalam perjalanan menuju tempat yang sama dengan lelaki itu, lorong yang berdekatan, dengan nyala lampu sedikit lebih banyak, menyerupai buih yang dibekukan sehingga kelak akan dapat disentuh oleh tangan. Lorong yang tengah menanti kedatangannya akan menyampaikan pemberitahuan melalui peluit yang bersarang di mulut seorang lelaki hitam di wajah yang kedua tungkainya telah dipangkas bilangan selama beratus-ratus tahun sebelum seseorang di kejauhan menyampaikan kabar tentang rombongan. Rombongan tersebut masih berupa aba-aba yang disampaikan lewat derap langkah kaki kuda di permukaan jalan. Rombongan kuda tersebut memiliki arah yang sama dengan embusan. Ketika salah satu di antara banyak kuda itu tiba ke muka lorong, yang terdengar ke tepi jendela seorang nona pemamah asap adalah sebuah ringkikan yang mematahkan permukaan dinding hingga setiap helai surat dan kata-kata mutiara yang ditinggalkan oleh orang-orang yang sekarat dan hampir mati akan tiba ke permukaan lantai, membentuk serakan. 

Serakan-serakan tersebut kemudian akan terbakar dengan sendirinya tanpa memerlukan pemantik, nyala api yang berasal dari sumbu salah satu pohon yang dari kejauhan pada waktu pagi akan tampak serupa obor berwarna oranye yang memanggil lelaki-lelaki bertopi tanpa mantel untuk memangkasnya sebelum senja tiba. Lorong yang kelak dihuni oleh seorang tua berkain sutera akan mengucapkan selamat datang pada kedatangan. Menyambut dan menghidangkan berbagai macam makanan yang tak habis disantap dalam waktu satu hari meskipun seseorang telah tiba di lorong dengan membawa mulut yang menganga. Terbuka seperti salah satu gua di permukaan tanah gersang dan cadas yang mawas pada bongkahan yang sekali waktu ditebas. Sementara di permukaan lorong, hujan batu kerikil tiba menyerupai pipilan jagung yang dilepaskan satu persatu dari bonggol yang terpancang di salah satu pohon berusia singkat yang serabutnya tiba ke permukaan wajah seorang kanak berponi banyak yang lompatan kaki dan sepatu merahnya memiliki kancing serupa selot lemari atau pintu yang memenjarakan seorang tua yang gelambirnya beraromakan tembakau dan siulannya serupa dengan sahutan salah satu ular yang tinggal lebih dalam dari dasar laut sehingga permukaan tubuhnya, kulit tubuhnya serupa dengan agar-agar dan pagar yang memagari rupa-rupa manusia. 

Lihat selengkapnya