Sehelai kain terbang melintasi bukit dan alang-alang hingga kemudian terjatuh di salah satu liang lahat tempat seorang lelaki bertubuh tinggi sedang menghitung jarak antara dirinya dengan awan-awan. Kepulan datang kemudian. Seekor burung bersayap putih lebar menaiki salah satu pohon yang pada kanan dan kirinya terdapat apel yang tumbuh ke arah aliran sungai yang dipisahkan oleh kayu-kayu yang ditanam serupa pagar sehingga angin tak akan membuyarkan lamunan dan wajah perempuan bernama Kersen tak akan tertampar. Seseorang kemudian menyalakan peluit panjang ke arah orang-orang yang masih dalam perjalanan menuju pohon paling tua dengan lebar sekitar sepuluh meter tanpa belahan dan surat yang selalu memiliki kemungkinan untuk terselip di sela-sela keyakinan. Sementara seseorang yang tak menggemari kucing, yaitu anak lelaki berusia delapan berlari mengejar benang-benang yang terjalit dan terpilin pada salah satu dahan. Perlahan, anak berusia delapan tahun itu kehilangan helai demi helai rambut yang semula melekat di kulit kepala. Bola matanya berwarna biru muda sehingga jika ia berlari mendekat ke arah sungai yang airnya masih mengalir dengan tenang, tak didapatinya suara panggilan dari belakang tubuhnya yang bertujuan untuk menghentikan. Sementara itu, sepuluh meter dari liang yang tertawa rapi, terdapat lelaki sejumlah lima dengan tinggi tubuh yang sama, berbaris menghadapi lubang dan debaran yang terasa tiap kali seseorang menghampiri daun pintu untuk mengantarkan kabar tentang cuaca, warna langit, dan pergantian lelaki yang berjaga di perbatasan. Atau burung-burung di sebuah bukit yang bahagia begitu mendapati seseorang menengadahkan kepala dan wajah ke arah kepakannya sehingga ia menjadi salah satu di antara banyak burung yang tertawa setelah menemukan peta dan jalan menuju tempat pulang, menuju salah satu rumah yang di dalamnya terdapat pintu dan jendela serupa mulut dan sendawa manusia yang pada akhirnya tiba pada tumpukan piring paling akhir setelah menandaskan banyak gelas berisi ucapan yang pias. Begitu ia diembuskan pelan ke dalam gelas dan seseorang yang semula tengadah, memilih untuk mengatupkan kelopak mata dan menundukkan kepala ke arah buku-buku yang terbuka ketika dibaca oleh seorang lelaki yang matanya telah keruh oleh kata dan juga tanda baca yang didapatnya dari salah satu halaman yang di dalamnya terdapat goresan pesan yang ditinggalkan oleh seseorang beraut wajah serupa nampan.
Peluit itu begitu nyaring di rongga telinganya yang lapang dan sesekali berdenging. Demi temukan seseorang pemilik peluit yang gaungnya akan terdengar hingga ke tepi sebuah sauh yang jauh. Perempuan bernama Kersen tak mendapati apa-apa di belakang tubuhnya. Selain tubuh orang-orang yang telah lelah memperjuangkan raga yang ditopang oleh kaki buatan berupa kayu yang kayunya ditebang di sebuah hutan yang lengang oleh telisik dan pencarian tentang jalan keluar yang kuncinya terselip di salah satu buah yang dikemas dalam kulit dan warna yang sama, serupa, namun memiliki jumlah cerca yang berbeda. Saat ia sampai ke salah satu tangan yang dibuai seseorang yang kedua tangannya masih memamah air susu yang terpendam lama dalam mulut salah satu bayi yang dapat mengeluarkan teriakan melebihi jeritan sepasang gunung yang terletak di seberang mata, di jarak terjauh pandangan seseorang pemilik suluh dan rupa-rupa manusia yang gemar memperhitungkan dan menanam keranda yang terbuat dari anyaman bambu dan melati di sela-sela.
Perempuan bernama Kersen selalu mendapati udara segar, lebih segar dari sebelumnya tiap kali ia menyudahi sebuah tolehan dan gaung pertanyaan yang nyaring di dalam kalbu yang terbuat dari baja yang tak akan mampu mencapai karat sehingga seseorang tak perlu melakukan pemanggilan kepada hewan pengerat. Seorang tua menanam mayat manusia yang pipi kanannya melekat di permukaan pagar yang belum lama lagi akan dipugar. Sementara seorang tua yang lain, yakni perempuan yang memiliki sejumput warna putih di kepala, memasukkan tubuhnya ke dalam salah satu liang untuk memastikan kedalaman dan kemungkinan air sungai yang tak akan mungkin sampai ke permukaan. Saat seseorang mati, ia kehilangan kemampuan untuk merasakan haus dan lapar sehingga air sungai tak akan menjadi salah satu yang dirindukan selain papan yang dapat menyelimuti dan menyingkirkan. Rasa asing pada harum tanah yang acapkali diiklankan, dibewarakan, sebagai nenek moyang, akar, sebab musabab, awal mula penciptaan yang kelak akan mempertemukan. Kepada keasingan lain yang membuatnya semakin abai pada tetesan, semburan, percikan, kemudian genangan yang dapat memandikan dan menyingkirkan ketidaktahuannya pada musim, pergantian jumlah daun yang meranggas dan tinggal dalam buaian. Kelak, ketika ia telah mampu merekatkan jemari dan kedua tangan ke permukaan dinding, ia akan menemukan peta, jalan pulang yang tak jauh dari kisaran dan embusan. Di muka kaca jendela, di depan cermin tempat orang bersua, perempuan-perempuan yang telah tinggal lama, menjejakkan kaki di permukaan bumi dan hamparan tanah yang menadah kepada pembawa wadah. Di dalam wadah, terdapat potongan buah yang menjadi tiket bagi kunjungannya dan sapaannya pada pepohonan dan kulit kayu yang memiliki jadwal untuk tiba di atas tungku, dijerang dan dimasak melebihi salah satu bagian kulit mamalia yang berjalan dengan dua atau empat kaki yang masing-masing dilekatkan alas kaki berupa besi. Besi itu kemudian akan berkarat ketika salah satu pohon terisak, menangisi salah satu manusia yang tertidu panjang, tiba pada rentang paling lama untuk terlelap dan sudahi kilap.