Cintai Aku Tanpa Buah Dada

Eka Retnosari
Chapter #11

DEBURAN YANG PERLAHAN HILANGKAN DEBARAN

Kersen terbangun pada pagi hari ketika matahari belum meninggi. Wajah itu memantul di permukaan cermin yang ranum oleh ingatan yang terbawa dari mimpi tentang seorang bidadari. Pintu rumahnya terbuat dari kayu yang telah terbelah. Ia tampak seperti setengah phon yang setiap urat dan keratnya memiliki penanda dan aba-aba tentang laku lampah manusia. Jendela rumah Kersen tak memiliki tirai sehingga tangannya yang berurat hijau akan mudah menggapai. Dua tumpuk buku yang dua di antaranya adalah buku yang dipinjamnya dari perpustakaan, tampak serupa pinggan. Kersen tak memerlukan air mandi, untuk bersihkan wajah yang telah lebih dulu berseri. Sementara kerat roti bukanlah barang yang sulit dicari. Ia hadir di dalam pinggan peramal cuaca, seorang nenek tua renta yang kelopak matanya telah tertutup dan terkatup seluruhnya. Perempuan berusia sembilan puluh lima tersebut telah memangkas pohon tua yang telah dipeliharanya sejak usianya memasuki angka dua puluh lima. Ketika itu, perempuan-perempuan seusianya sedang belajar menulis puisi simile sehingga setiap pintu adalah jalan menuju kebebasan dan kepuasan. Langkah-langkah hampir tak pernah tersampir. Sementara angin tiba untuk menyampirkan tujuan sementara yang merupakan jeda dari perjalanan. Mereka tampak bahagia pada mulanya. Gaun selutut dan berbunga pucat, tampak serasi dan berpadu dengan sepatu selop yang bertalu. Ia tiba di permukaan lantai kayu yang berdampingan dengan puteri malu. Langkah-langkah serupa dan seragam menaiki ketam masing-masing yang membawa penumpangnya menuju padang rumput yang hadirkan kebebasan dan keleluasaan untuk menari dan menyanyi meski sekejap dan sepelan kebebasan dan keleluasaan untuk menari dan menyanyi meski sekejap dan sepelan itungan jari. Takaran tentang bahagia masih menjadi tebakan penguasa. Surat kabar memberitakan perempuan-perempuan berusia dua puluhan yang telah pandai berpuisi di atas dipan. Di permukaan kertas, amplop, dan daun-daun lontar yang membekas dan berselaput tembikar. Pemimpin redaksi surat kabar utama di kota tersebut adalah seorang lelaki berlogat Inggris yang begitu cinta kepada kerat roti yang masih memiliki asap di ruang kedap. Ruang kerjanya berdampingan, bersisian dengan dapur yang memiliki tungku yang apinya tak pernah tergugu. Ia senantiasa menyala. Memulangkan dan mengantarkan pejalan agar sampai kepada kisaran. Roti yang paling disukainya adalah roti selai stroberi. Teh tanpa gula yang sebelumnya dijerang sekuat tenaga, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan membaca. Setiap hari, perempuan-perempuan berusia dua puluhan mengantarkan banyak puisi yang sebagian besar merupakan puisi tanpa judul dan pengingat salah satu tanggal serta tanggul. Perempuan-perempuan yang tinggal tak jauh dari aliran sungai adalah perempuan yang berjalan dan melangkah dengan ketergesaan. Sementara kata-kata masih tertinggal di ruang baca sebelum akhirnya melaju bersama gugu. Kisaran tentang kabar surga yang dialap-alap selalu diiklankan dan dikabarkan oleh lelaki pemilik surat kabar harian. Cuaca meramalkan hujan yang akan turun pada pertengahan tahun ketika sorak sorai kalahkan gardu listrik dan pijaran kembang api yang biasa dititi sekuat tenaga. Mereka, perempuan-perempuan berusia dua puluhan tersebut sedang belajar membuat dan merangkai prasangka sehingga angka-angka adalah tentang bagaimana menjadi seseorang yang patuh dan taat membaca. Angin merupakan pengantar di hantaran. Namun, mereka lebih menggemari angin daripada lawakan tentang jumlah benang yang terangkai dalam pakaian pembungkus bangkai. Pada petang hari, sebelum matahari terbenam, sebuah kereta lokomotif akan melintas dari utara menuju selatan untuk mengantarkan muatan. Bangkai-bangkai manusia yang belum tuntas dilekatkan dan diingatkan tentang jumlah dan bentuk setiap tungkai. Sebelum akhirnya patah oleh popor senjata seorang serdadu yang tak pernah beradu, terlebih nasib kepada setiap pemamah almanak dan pemanah anak. Serdadu-serdadu tersebut telah tuntas membaca kitab di ruang baca kota, ruang yang setiap dinding dan daun pintunya memiliki ruang untuk didengar serta lembaran yang berpijar. Sewaktu-waktu jika ia adalah kumpulan sembilu. Sementara waktu, jika buku hanya menceritakan gugu, perempuan-perempuan yang menunggu, serta alu yang bertalu di salah satu ruang tanpa kaca sebagai pembatas dan pemisah lelaki serdadu dengan pemamah dadu. Orang-orang yang melintas sekali waktu adalah serdadu-serdadu yang telah tutup buku sehingga aroma buku tak pernah asing di tanah lapang yang dipijak oleh orang-orang asing pembawa gasing. Sebagian besar buku yang memenuhi dan menguasai dinding adalah buku-buku yang telah tuntas dibaca dalam desing dan lolongan anjing pemberi kabar tentang jumlah kamar di samping sebuah bar. Kereta lokomotif akan memuntahkan setiap bangkai agar tengah kota menjadi tempat yang ramai oleh kata-kata. Di permukaan kertas dan setiap punggung tangan yang kebas. Manusia, ujar pemilik surat kabar kepada seorang tamu yang datang bertandang, memiliki dua kesempatan pada setiap hari yang datang. Kesempatan untuk tertawa atau tergugu di samping tugu. Tugu menjadi perlintasan antara pejalan yang masih belum tuntas melakukan perjalanan. Tugu menjadi titik temu perempuan penunggu dan lelaki yang ramai menjanjikan tempat pulang tanpa kisaran dan pusaran. Selalu ada bunga yang melekat di genggaman memisahkan pejalan dengan seseorang yang menguasai jalan pulang. Perempuan-perempuan penunggu tersebut memiliki ingatan yang kuat tentang setiap peristiwa yang terjadi di suatu kota ketika orang-orang belum tuntas membaca. Mereka mengingat nama setiap orang yang mempertemukannya dengan pembawa almanak yang pada tengah malam beranak pinak tanpa riak. Mata-mata itu telah lama berkaca di ruang tunggu tak berpenghulu. Karena memercayai, maka setiap penunggu selalu temukan tempat pulang yang tak pernah membilang dan berbilang. Pemeluk menjumpai setiap tangkai, pembaca langkah tungkai yang tak pernah lelah mencapai. Tempat-tempat tak bermesiu, tempat-tempat tak berbangkai, serta tempat-tempat yang menghadirkan buku sebagai pengisi ruang lengang di dinding dan helaan napas perempuan penunggu buku dan penjaga ruang baca. Bangkai-bangkai itu menemukan tempat pulangnya, lautan terdalam yang dasarnya masih jauh untuk digapai. Dari kejauhan, dari jendela sebuah rumah bercerobong asap, terdapat setiap empat mata yang leluasa dan merdeka untuk melihat sekali dalam sehari asalkan sempat. Laut itu tampak abu-abu, serupa dengan lukisan seorang nyonya di seberang toko buah yang tampak seperti lukisan Van Gogh, namun lebih kokoh. Pada tengah malam, lukisan yang warnanya serupa dengan laut berbangkai tersebut akan sampaikan kisah tentang jumlah lebah yang bertukar pakaian dengan pemilik lelah. Lukisan berisi bunga lima tangkai dalam sebuah pot porselen cokelat muda berbingkai, bertanah cokelat tua, dikelilingi oleh dinding abu-abu sehingga dinding tersebut tampak seperti air laut yang tertumpah kabarkan maut. Pelaut-pelaut pada musim panas telah tuntas mengantarkan ikan kepada setiap pohon penunggu yang belum ditebas. Meski dinding memisahkan pintu dengan tugu, setiap jendela memiliki penunggu tanpa bunga dan helaian daun sehingga gugu sekali waktu dibolehkan untuk berkejaran. Lukisan tersebut akan teriak dengan suara seorang perempuan yang tuntas meramalkan kedatangan hujan dan pertanda dengan kisaran yang berkelindan. Sementara jumlah pemangkas selalu dikabarkan oleh pengantar surat kabar sebagai seseorang yang tuntas dengan harapan yang tertanam di pintu keluar. Kesunyian menjadi hadiah penunggu yang menyertakan rayu dalam hantaran makan siang seorang lelaki penyayang. Nyatanya, luka-luka tak selalu dimiliki dan dikuasai oleh manusia-manusia bergaun, makhluk-makhluk yang leluasa terisak pada malam hari, sebelum orang-orang jumpai pagi. Serdadu-serdadu yang gugur, sedang dalam perjalanan untuk sampai hingga ke dasar, meski kesasar. Bongkahan menjadi helaan untuk sementara waktu, sementara sembilu hampir tak pernah terasa dan mewujud nyata. Serdadu-serdadu tersebut semasa hidupnya begitu hapal nama-nama manusia, nama-nama jalan, bertandan nama-nama kota melebihi arah angin seorang petinggi, nama-nama makanan yang dihidangkan di meja makan, nama-nama rokok dan cerutu yang diisap oleh pengantar kesiap, sedangkan juru masak di dapur seorang petinggi, tak pernah memenuhi ruang tempat segala titah dan janji terpenuhi. Serdadu-serdadu tersebut mendapatkan hadiah atas kerja keras mendedahkan jalan dan membuka kelokan yang memisahkan dua tanggul yang dijagai oleh seorang serdadu paling unggul. Laut mengantarkan isakan perempuan yang berlinang dalam guyuran. Hujan, mortir, dan semacamnya, pun keranda yang tak pernah tiba. Kegamangan selalu menjadi hadiah bagi perempuan yang matanya mudah terisak karena suatu sebab yang menjauhkannya dengan bab. Dalam kekalutan, manusia selalu lupa membaca sehingga ruang makan di tengah dapur menjadi tempat paling tepat tanamkan gusar pada bumbu masak yang sekali waktu tampur. Gusar yang memperjumpakan setiap pejalan dengan bagian tengah surat kabar yang tak hanya memuat alamat. Di tengah surat kabar, orang-orang tanamkan gusar. Tentang wajah-wajah yang diingat sekali waktu oleh pembaca buku. Wajah-wajah yang hilang seusai bertukar wadah dengan salah satu pemamah. Wajah-wajah yang mudah terkenang oleh ingatan tentang perhelatan yang tak habis dikenang. Wajah-wajah tetua yang bersendawa pada salah satu jeda, wajah-wajah renta yang ingatannya pada masa tua dipenuhi kisaran tentang jumlah pohon dan isakan yang tertahan. Isakan tersebut tersangkut dahan pohon sehingga orang-orang selalu menyerah sebelum sempat merebah. Setiap hulu merupakan awal mula rincik yang kelak akan memuarakannya ke laut yang terpaut. Serdadu-serdadu yang menguasai jalan akan tanggalkan tengah halaman agar hantaran di tengah ruangan tiba ke kelopak mata seorang penanda. Laut sampaikan panggilan kepada setiap mata yang tak tuntas mengatup, terkatup, meski kesunyian selalu dihadiahkan penduduk kota dan penguasa tanda baca. Laut menggaungkan asalan, tanpa menyampirkan kisaran tentang jumlah maupun keadaan. Orang-orang pada masa panen ikan akan berlomba dengan salah seorang perenang yang ulung dalam mengarungi deburan tanpa sertakan debaran. Orang-orang menggelar pesta tiga hari tanpa sertakan bahasan tentang orang hilang dan tamu-tamu yang tak henti bertandang. Jumlah ikan mengalahkan bilangan yang dapat dijangkau oleh penadah risau. Serdadu-serdadu tersebut berbaris dengan teratur, tanpa gerimis yang membentur. Tepian ingatan dan lamunan tentang pakaian terbaik yang dapat dipakai oleh seseorang yang belum berganti rupa meski dupa tak henti diberi api. Orang-orang berdansa tanpa suara. Dengan linangan serupa bola kaca. Dengan pujian tertahan di katupan. Dengan genggaman bertalian, agar setiap jemari memiliki benang yang bertali dengan peraduan seorang peniti. Seseorang membelah dan melepaskan bagian tengah surat kabar dan menjadikannya satu dengan potongan kayu bakar yang belum dibakar. Asap mengepulkan wajah-wajah yang tersesat di salah satu jalan, di salah satu hutan. Pekikan terdengar hingga ke langit, panjatan tiba ke setiap tepi gelas yang memulas setiap pipi. Setiap penggenggam agar tak tiba ke pusaran dan pijaran. Wajah-wajah di dalam tanah, serta wajah-wajah di batang pohon yang pandai memohon. Kepada kekosongan, kepada ketenangan. Laut yang akan menjadi tempat pulang setiap tangan yang bertaut. Dalam kekalutan, orang-orang hilang tak mampu merelakan. Wajah, pejalan, pemamah, dan serdadu yang bertukar tempat dengan sembilu. Setiap mata menjadi awas kepada setiap peninju yang dituju dan ditinju oleh penguasa remang-remang yang acapkali bertandang. Pemilik pesta sampaikan ramalan tentang jalan dan permukaan. Pemilik pesta menghidangkan makanan laut dalam pinggan. Sementara perapal tanda sampaikan kabar tentang kedatangan kereta yang masinisnya gemar beradu tawar. Dengan pemilik laut yang lidahnya terpotong oleh kepercayaan dan keyakinan yang benar terhadap benang merah perjumpaan. Seorang muda yang berkarib dengan serdadu, sampaikan lawakan tentang bilangan yang berkejaran. Di tengah halaman, seseorang mengundi nasib sehingga puisi sampai tertelan penanam benang dan penawar remang-remang. Di tengah meja, seseorang yang matanya masih awas membaca ranum usia, sampaikan ingatan dan kisaran tentang jalan pulang yang berkelindan dengan muatan. Masinis lokomotif memiliki lidah terpanjang yang mampu menjangkau waktu-waktu lampau. Tebakan tentang nama salah satu bangkai yang dilemparkan ke tengah laut dengan tangan yang tak henti terpaut. Seseorang lemparkan kartu pos ke tengah meja, seorang pembaca surat kabar yang tak pernah lelah membaca tanda-tanda dan aroma amis ikan di dalam pinggan. Kartu pos tersebut merupakan suvenir, hadiah dari seorang tua yang rindukan perjalanan. Perempuan paruh baya yang sibuk terjemahkan suara dan pertanda salah satu dari banyaknya orang yang telah menyerah. Ia berhenti membaca. Seluruh waktunya adalah bilangan yang dihabiskan untuk mengasah pisau dan menjerang adonan. Pagi hari, dihabiskannya dengan membeli tepung terigu dan tepung gandum sehingga siang hari akan menjadi waktu yang panjang untuk membilang. Pasar menjadi tempat yang tak dipilihnya ketika jeda. Selang waktu yang memisahkannya dengan orang-orang pemercaya tugu dan pemerhati gugu. Setelah pai, pizza, dan roti tersaji di meja, perempuan itu akan duduk di beranda. Memperbaiki waktu yang berlalu, sebelum akhirnya bersua dengan pemahat mata dan pemasang setiap sempat. Kartu pos itu bertuliskan sapaan dan nama seorang serdadu yang miliki ingatan yang kuat tentang setiap langkah yang mesti diayun cepat. Serdadu tersebut sedang dalam perjalanan menuju ingatan yang memuai dan berkelindan. Ia berkarib dengan anak seorang serdadu yang gusar tanamkan ingatan yang kesasar. Di haribaan dan pembaringan seorang ranum remaja yang masih sampirkan kenangan tentang lembaran. Hari tua menjadi senja berjelaga. Ramai suara lokomotif dan pemesan kaki kambing yang hadiahkan tip tak berbilang tentang bilangan serta kisaran. Untuk pertama kalinya, seseorang sampaikan ingatan tentang cita-cita yang mesti diwujudkan. Sementara hujan masih dirindukan. Penjaja payung menawarkan payung tanpa selebaran. Pun rangkaian janji tentang tempat pulang. Hujan digadang-gadang di gelandang. Seseorang bertandang setelah menempuh perjalanan dari kota ke kota, dari kisaran ke kisaran. Sebelum tiba ke muka pintu, sebuah almanak terentang di permukaan meja dan hantaran. Hujan masih menjadi kepercayaan. Sebagian memercayainya sebagai jalan keselamatan. Sementara seorang tua akan memegang keyakinan yang benar tentang hujan yang berkelindan di ruang-ruang sunyi tak berjeruji. Karena hujan memiliki kebebasan sempurna, maka tak masalah jika ia tak tiba seusai tanda. Hujan ingkar janji kepada setiap pemercaya sehingga hujan dibenci sebagian. Hujan dikarang-karang oleh pemilik suara yang mampu sampaikan kabar hingga ke dasar laut sehingga maut akan terpagut. Hujan meski tak pernah taat seperti penganut paham tertentu dan jemaat salah satu gereja, tetap membuahkan harapan. Memercayainya akan membuatnya serupa dengan nyanyian priyayi dan seribu kunang-kunang di salah satu kota, di salah satu tanda. Hujan yang terjadi sekali setahun kemudian membawanya pulang ke haribaan. Ke permukaan laut yang tak henti menjernihkan. Ke setiap hulu yang tak henti menjabarkan dan menunjukkan jalan pulang yang tak berbilang dan terbilang. Ia bersentuhan dengan permukaan laut yang berpaut dengan pemilik maut dan setiap kayu yang berpaut. Ia menyelinap masuk kemudian tinggal dalam setiap khayalan kekasih serdadu yang ditinggal mati dan dihadiahi sepucuk kartu pos yang sebagian lolos. Dari tangan-tangan yang gemar menjawab dan mendedahkan musim serta ketaman pedati sapi paling gemuk di tengah kota, peramal cuaca serta tanda-tanda. Tangan-tangan yang mampu memilah setiap wajah dan memperhitungkan titik temu sehingga setiap benda akan terjatuh pada waktunya. Setiap wajah akan bersua pada usia paling renta. Sementara seorang perawan tak akan memercayai hujan pada akhirnya, ketika langkah yang berderap adalah tanda-tanda. Bahwa serdadu miliki hati sejumlah satu. Sementara kartu pos ramai dihadiahkan oleh penjual suvenir dengan potongan harga tersampir. Hujan ditadah di telapak tangan sehingga setiap anak yang meninggalkan rumah dengan anak di tangannya adalah penadah hujan yang sekali waktu menawan. Ingatan kepada benda-benda yang mudah terpaut di tangan seorang pemercaya. Namun, hujan tak semudah itu tiba, terlebih jika orang-orang lebih mudah percaya kepada senja, pemuja durja, dan penanda malam tiba. Teriakan telah lama tertelan oleh banyaknya musibah yang tiba melalui angin ribut dan wabah. Orang-orang bermuntahan di lorong-lorong dan lumbung gandum seorang lelaki paling kaya yang pandai berenang. Air sungai tak akan mampu memenjarakan, sementara air laut akan mudah menelan. Setiap prasangka dan kisaran tentang benda-benda yang mudah terpecah dan terbelah. Ingatan tentang kerat roti lebih membekas di wajah-wajah pias. Sementara kertas koran, surat kabar pagi, berterbangan menyambut penyambut yang tak pernah usai goreskan dan tuliskan nama orang-orang yang tak pernah usai dan tak pernah henti bercerita tentang belati dan amunisi. Orang-orang yang berhamburan kemudian mengantre tanpa mempersoalkan wajah orang terdekat dan wajah pelamun yang melamunkan hal-hal yang mudah diingat dan dikarang dalam katupan mata seorang penanak yang diam-diam masih menyimpan ingatan yang kanan. Tentang nasib yang beranak pinak. Pun impian yang tanak sebelum onak tiba di gumaman seorang penggenggam dan penganyam. Perempuan berambut ikal tak memakai pakaian perawat atau seragam yang bertanda mata sehingga orang-orang yang mengantre tak akan bisa bedakan tumpuan dalam hantaran. Ia tekun mencatat dengan sabar setiap debar. Takaran dan tawaran tentang jumlah orang merebah di tetirah. Orang-orang mengantre tanpa nampan sehingga tadahan adalah kilahan. Setiap pengantre adalah pembawa kabar tanpa surat kabar. Tentang hari baru tanpa pemburu. Jumlah manusia yang masih termangu di ruang tamu. Pemintal yang masih saja percaya kepada orang-orang yang kekal mengingat yang bebal-bebal dan kuda tak bertapal. Ia, perempuan berambut ikal mencatat nama-nama setiap pengantre yang masih memercayakan dirinya pada kehidupan. Nyatanya, setiap manusia memiliki nama yang berbeda-beda. Ketika perempuan itu mengajukan pertanyaan. Tentang nama tengah yang dapat dipilah-pilah. Orang-orang itu memusatkan perhatian dan ingatan kepada arah jalan. Orang-orang itu membawa perut kosong dan genggaman apa adanya. Sementara bola mata adalah bola mata pembaca cuaca dan tanda-tanda. Kemudian perempuan pencatat itu mengajukan pertanyaan tentang hujan. Apakah mereka adalah orang-orang yang merindukan hujan, memercayai hujan, dan pernah melihat hujan. Orang-orang itu kemudian tertawa sebelum akhirnya menangis seadanya.

 

Istanbul, 18 Januari 2024

 

Selesai



 

 

Lihat selengkapnya