Mau bunuh diri, tapi takut mati. Ah, itu sih, aku. Tetapi cowok itu? Hm, aku penasaran!
Kucoba mengintip ranjang sebelah dari celah tirai yang sedikit terbuka. Tampaknya ia sudah siuman, dan kondisinya pun sudah membaik. Sepertinya, ia juga sama denganku, sedang menunggu layanan kamar rawat inap yang masih mengantre.
"Sstt!" Aku memberi kode lebih dulu untuk menarik perhatiannya. Sayangnya, ia tak mendengar desisanku.
Kusibak tirai untuk mencoba mengajaknya bicara. Mumpung di ruangan itu sedang tak ada yang menjaga.
Saat itu, di ruang yang hanya dibatasi tirai hijau, seorang laki-laki muda sedang dalam tindakan penanganan kasus percobaan bunuh diri. Menurut pembicaraan yang kudengar dari dokter dan perawat yang menanganinya semalam, bukan sekali ia lakukan dalam sebulan ini. Untung saja nyawanya selalu tertolong. Entah apa yang menyebabkan cowok ganteng itu begitu nekat melakukannya. Heran saja, aku yang sudah jelas-jelas tak akan bisa berjalan normal lagi alias cacat, masih berharap sebuah keajaiban untuk sembuh. Sementara ia masih muda, ganteng dan tampaknya dari kalangan orang berada.
Penasaran, aku ingin mengetahui penyebabnya. Aku harus mengenalnya, kemudian memberi semangat untuk melanjutkan kehidupannya kembali normal. Ya, tak ada salahnya kalau melakukan kebaikan di sisa umur, meski dalam keterbatasan. Apalagi menolong hidup seorang manusia, walaupun sebenarnya sudah tak diinginkannya lagi. Siapa tahu bisa menambah pahala buatku. Dengan begitu, hidupku tak akan sia-sia meski menghabiskan waktu hanya duduk di atas kursi roda.
“Hai!” sapaku, sambil memasang senyuman termanis. Ia menoleh, tetapi tak membalas sapaan, apalagi membalas senyuman.
"Hai, kamu dengar suaraku?" Aku bertanya lagi. Tetapi ia masih diam, tak mau menjawab. Sapaanku tak digubris, ataukah ia memang sombong? Menyebalkan!
"Hai! Lo tuli, nggak?" Aku mulai kesal. Alih-alih menjawab, ia malah mendelik ketus ke arahku, lalu menutup mukanya dengan selimut.
"Kenapa Tuhan nggak bikin mati aja sekalian sama orang sombong kayak lo? Kenapa Tuhan masih membiarkan orang yang udah bosan hidup?”
Hening. Hanya suaraku terdengar seperti memantul di dinding ruangan yang dihuni berdua, setelah pasien serangan jantung di sebelah kananku meninggal subuh tadi.