Cintai Cinta

Rina F Ryanie
Chapter #2

2. Panggil Gue Cinta!

Bab 2. Panggil Gue Cinta!

Hari kedua terbaring di ruang rawat inap pasca amputasi tiga jari kaki kiri yang hancur. Setelah berusaha dipertahankan dan berharap menyambung sendiri, jari-jari kaki yang mungil dan cantik itu terpaksa harus rela dibuang. Kalau tidak, justru akan semakin memperburuk proses pemulihan pada tulang kaki. Syaraf-syarafnya sudah tak berfungsi lagi untuk melakukan gerakan. Sejatinya, hatiku ikut hancur, perasaanku pun turut teramputasi. Asa dan mimpi yang selama ini kuperjuangkan agar terwujud, larut bersama aliran darah yang menetes dari lukaku.

Namun, kali ini air mataku sudah tak mengiringi tetesan darah itu. Air mataku sudah kering. Hanya pasrah dan berusaha untuk ikhlas menerima takdir-Nya. Ya, walaupun sulit, karena sejujurnya aku belum mampu berserah. Emosiku masih tak stabil. Kadang meledak-ledak jika teringat bagaimana kondisiku sekarang ini.

Pantas saja selama menjalani terapi, aku juga didampingi psikolog yang mengawasi kondisi mentalku.

Kini, setidaknya aku sudah berani menatap kedua kaki yang sudah dipasang pen. Aku sudah bisa mengelus lengan kiri yang baru lepas dari balutan gips, dan gendongan penyangga tangan. Ada secercah harap menyelinap ketika kaki kananku sudah bisa digerakkan, meski ngilunya belum bisa hilang.

Ibuku datang setiap sore sampai malam. Ia tak bisa setiap saat membesuk karena tak bisa meninggalkan warung yang menjadi mata pencaharian kami satu-satunya. Selain katering, warung makan sederhana yang dikelola ibu selama sebelas tahun itu menyediakan aneka masakan. Kebanyakan yang datang untuk makan siang adalah karyawan pabrik terdekat. Aku memaklumi jika ibu tak bisa mendampingiku setiap saat.

Orang yang menabrakku? Entahlah, aku hanya bisa mengutuk perbuatannya yang tak punya hati. Saat kecelakaan terjadi, aku tak sempat melihat mobil jenis apa, apalagi mencatat nomor kendaraannya.  Aku yakin, orang yang menabrak dan meninggalkan tubuhku tergeletak tak sadarkan diri di jalan itu, tak akan bisa tenang seumur hidupnya. Orang itu pasti dihantui rasa bersalah setiap saat. Biarlah, biar Tuhan yang akan membalas perbuatannya.

***

 Masih dengan selang infus dan jarum menancap di lengan, aku meminta suster untuk memindahkan tubuhku ke kursi roda. Begitu pun kantung cairan infus tergantung di tiang yang dipasang di kursi roda.  Aku ingin mencari udara segar di taman yang berada di area rumah sakit ini sekadar membuang jenuh. Untungnya, suster jaga membolehkan selama masih dalam pengawasan mereka.

Seorang suster membantu mendorong kursi rodaku. Sampai di taman, ia pamit meninggalkan diriku sebentar, untuk membuat laporan.

“Kak, Kakak berjemur dulu di sini, ya. Jangan ke mana-mana sampai saya datang. Saya selesaikan dulu laporan tugas pagi ini,” ujarnya seraya membetulkan letak kantung infusan dan memastikan posisi kursi rodaku aman.

Lihat selengkapnya