Dua bulan setelah kecelakaan, aku mulai terbiasa dengan rutinitas baru yang harus kujalani dari hari ke hari. Ya, karena tak ada aktivitas lagi selain duduk di kursi roda. Kedua kaki dan tangan kiriku belum pulih. Meski terapi tak terlewatkan, masa penyembuhan tulang-tulang yang patah memerlukan proses yang tak cepat. Aku masih sering merasa putus asa dengan keadaanku. Saat bercermin, aku tak berani melihat wajah yang tak mulus lagi karena kini dihiasi beberapa bekas jahitan. Apalagi telapak kaki kiriku yang tak berjari lagi. Sedih. Rasa percaya diriku hilang. Ah, padahal aku tak sabar ingin berjalan bahkan berlari seperti biasa dilakukan setiap pagi sebelum ke kampus.
Pergi ke kampus? Tidak, aku sudah mengajukan cuti satu atau dua semester, sampai kakiku bisa menapak lagi.
Kadang, aku merasa tak berguna saat melihat ibuku kerepotan di warung. Tanganku sudah gatal mengambil alih parutan kelapa, atau mengupas bawang. Jika aku mendekat ke dapur, mata Ibu sudah melotot. Ibu tak mau jika lukaku yang belum sembuh terkena kotoran dan akan mengakibatkan infeksi. Sementara, kaki yang masih tertanam pen rentan sekali terhadap infeksi. Ia tak mau kondisiku semakin buruk. Perempuan berusia setengah abad itu memang selalu mengkhawatirkan putri kesayangan satu-satunya ini. Ibu selalu takut jika terjadi sesuatu pada diriku. Ia tak mau kehilangan orang yang dicintainya, setelah belasan tahun ditinggal pergi oleh ayahku. Ibu hanya memiliki aku, satu-satunya yang dicintai. Sering kali kusarankan untuk menikah lagi, tetapi Ibu menolak. Padahal, tak sedikit lelaki mapan seusianya yang berminat menikahi. Aku tahu dan merasakan apa yang Ibu rasa. Terlalu sakit luka yang digoreskan Ayah di hati kami. Aku dan Ibu, ditinggal pergi begitu saja demi menikahi lagi dengan mantan kekasihnya, yang ternyata sudah memiliki buah hati sebelum menikah dengan ibuku. Saat Ayah pergi, usiaku baru lima tahun. Aku tak bisa lagi mengingat rupanya. Hanya sedikit kenangan yang tersimpan di memori otakku.
Suara klakson motor yang berbunyi nyaring ketiga kalinya, menurunkan aku dari angan yang melambung. Kebiasaan! Sudah kubilang berkali-kali jangan membunyikan klakson di depan warung kepada pemilik motor itu. Ibuku suka kaget, dan susah untuk meredakan kembali ketakutannya itu. Akhir-akhir ini, Ibu memang suka mengeluhkan ada yang tak beres dengan jantungnya. Ia jadi sering kagetan, berdebar-debar tiba-tiba, sering keluar keringat dingin, serta rasa cemas berlebihan. Menurut dokter, ibuku harus mulai waspada terhadap gejala gangguan jantung.
Kembali ke pemilik motor trail itu, ia Shaka, yang selama ini selalu mendampingiku ke mana pun. Kami berteman dekat sejak kelas tiga SMA. Aku dan Shaka satu sekolah, meskipun beda kelas dan jurusan. Aku anak IPA, sedangkan Shaka anak IPS. Namun begitu, kami selalu jalan bersama, baik pergi maupun pulang sekolah. Hingga kini pun, walau tak satu kampus, ia selalu menyempatkan diri untuk mengantar jemput aku.
Aku jadi teringat pada masa sebelum kejadian itu. Shaka selalu ada jika kubutuhkan.
“Cinta! Ngampus, nggak? Ayo, buruan, kita udah telat, nih!” teriaknya tanpa turun dari kendaraan kesayangannya.
“Iya, bentar! Aku izin Ibu dulu!” sahutku, membalas teriakan cowok berambut gondrong itu.
Setelah merapikan pakaian dan riasan wajah, aku berpamitan kepada Ibu, lalu segera menyambar tas kuliah yang kusimpan di meja kasir.
“Lelet banget, sih? Jalan udah kayak putri keraton aja. Lihat waktu, dong!” Dengan ketus, Shaka menggerutu ketika aku menghampiri.
Sepanjang jalan Shaka masih mengomel. Selain karena aku, ia juga lupa membawa tugas yang diberikan dosennya. Bukannya menyadari kesalahannya, ia justru menyalahkanku.
“Gara-gara kamu, aku jadi ikutan telat! Mana tugasku ketinggalan pula.” Shaka mengomel sambil menambah kecepatan laju motor.