Cintai Cinta

Rina F Ryanie
Chapter #4

4. Kontak Pertama yang Mendebarkan

Sudah puluhan novel yang habis kubaca serta drama seri Korea hingga Turki yang kutonton untuk membuang kebosanan. Tetapi, tetap saja tak mengubah keadaan. Begitu pun dengan ponsel. Semasa kuliah, pesan WhatsApp dan beberapa aplikasi media sosialku tak pernah sepi. Namun kini, membukanya saja aku malas. Kalau mengikuti status atau postingan teman-temanku, rasanya percaya diriku hilang. Aku yang dulu narsis, berubah rendah diri. Ya, semua karena kecelakaan yang telah merenggut yang kubanggakan di diriku.

Uh! Lama-lama aku bisa stress kalau begini terus. Bisakah aku bertahan hidup dengan berdiam diri?

Tanganku kembali membuka-buka lembaran novel yang sudah kubaca semuanya. Novel karya penulis dalam dan luar negeri. Ah, masa harus kubaca ulang? Tetapi kalau aku minta dibelikan lagi oleh ibuku, tak tega rasanya. Uangnya sudah banyak terkuras untuk pengobatanku. Masa iya, aku harus menodongnya lagi untuk membelikan buku-buku. Shaka? Tak mungkin juga. Ia baru beberapa hari yang lalu membawakan tiga buah novel. Malu kalau aku yang minta.

Mataku tertuju pada novel paling atas, yang baru kutamatkan kemarin. “It’s Kind of a Funny Story” karya penulis Amerika yang meninggal di usia 32, Ned Vizzini. Novel yang sudah difilmkan itu berkisah tentang seorang remaja yang menderita gangguan mental dan keinginannya untuk bunuh diri. Entah mengapa, aku langsung teringat Rean.

Ah, Rean. Apa kabarnya cowok angkuh itu? Ingatanku melayang pada seraut wajah tampan namun dingin. Apakah ia masih hidup, atau jangan-jangan ...? Ah! Pikiranku mulai berprasangka buruk.

Apakah aku harus menghubungi untuk mengetahui kabarnya? Bagaimana seandainya ia tak mengenaliku? Pertemuan kami hanya sebentar-sebentar. Mungkin tak berarti apa-apa baginya, sehingga tak penting untuk diingat.

 Kutimang-timang ponsel di genggaman dengan gelisah. Aku ingin mengetahui keadaan Rean saat ini, tetapi aku ragu. Ah, aku harus beranikan diri untuk  meneleponnya, daripada penasaran dan bikin gundah seperti ini. Sekadar menanyakan kabar, apa salahnya?

Aku harus mencoba menghubungi Rean. Kalau menunggu ia duluan, rasanya tak mungkin. Ia kan tak menyimpan nomorku. Akhirnya aku memberanikan diri menggulir layar ponsel untuk menemukan nama Rean. Aku mencoba menyambungkan jalur telepon, lalu menunggu dengan jantung berdebar. Tak sampai semenit, panggilan teleponku ternyata langsung diterima. Suara serak dan dingin di seberang itu, membuatku sedikit tergetar. Masih dengan nada ketus Rean menanyakan nama si penelepon. Tampaknya ia sangat berhati-hati dengan lawan bicaranya, atau memang tak suka. Tetapi seandainya tak suka, ia tak perlu mengangkatnya.

Setelah memberi tahu siapa aku,  ia terdengar seperti mendapat kejutan. Ia pun seolah  penasaran dan meminta aku menjelaskan dari mana mendapat nomornya. Dari nada bicaranya, sepertinya ia senang. Aku pun bernapas lega ketika mendengar ia sudah sembuh dan berada di rumahnya kembali.

“Cinta? Beneran nggak, sih? Kamu nggak lagi bercanda, kan?” ujarnya seolah tak percaya. Nada suaranya pun berubah lebih ramah.

“Ya udah, kalau nggak percaya, aku tutup teleponnya, ya?” Aku pura-pura merajuk.

Lihat selengkapnya