[Cin, kapan ya kita bisa ngobrol langsung di darat?]
[Kamu udah bosen chatting sama aku, Re?]
[Nggak, lah! Justru karena aku kangen.]
[Kangen ditimpuk pake tutup botol, ya?]
Setelah sekian lama aku dan Rean saling berbalas pesan di ruang obrolan ponsel, akhirnya aku bertekad untuk memenuhi undangan berkunjung ke rumahnya. Mengapa tak ia saja yang menemuiku? Bukankah aku juga masih belum bisa berjalan? Tidak. Tidak semudah itu kenyataannya. Aku tak mau timbul masalah dengan Shaka. Masalahku dengan anak band itu sudah berlapis-lapis, seperti kue wafer. Ambang kesabaranku hampir habis menghadapi kelakuannya.
Lalu, mengapa tak janjian bertemu di luar saja? Di tempat makan, atau di taman, misalnya. Tidak bisa. Rean sudah bilang, bahwa ia belum berani ke luar rumah. Jangankan berjalan-jalan, sekadar menaiki mobilnya saja ia sudah trauma. Ia belum bisa mengendalikan emosinya meski hanya melihat mobilnya saja. Sayangnya, ia tak menjelaskan alasannya saat kutanya.
Justru alasan tak jelas itu semakin membuatku penasaran ingin mengenal Rean lebih dekat. Jiwa kepo dan petualangku meronta untuk membongkar misteri di balik trauma itu. Bukan untuk apa-apa, aku hanya ingin menjawab teka-teki dalam otakku tentang Rean yang misterius. Siapa tahu, ini ada hubungannya dengan sikap dan gejala gangguan kejiwaannya yang ingin menghabisi nyawa sendiri.
Rean menyuruh sopirnya untuk menjemputku. Kakiku memang belum bisa berjalan, tetapi setelah jari-jarinya diamputasi, sudah mendingan bisa menahan dengan telapaknya. Jika berpindah dari kursi roda ke tempat lain, kakiku sudah bisa menyangga tubuh meski sebentar.
Baru saja mengeluarkan ponsel untuk menelepon, nama Shaka di layar sudah tampil duluan. Ah, ada apa sih?
“Ta, nanti aku ke rumahmu, tapi mau cari senar gitar dulu. Gitar kesayanganku senarnya putus gara-gara dipakai anak-anak. Parah, bisanya merusak aja kerjaan mereka,” ujarnya sambil menggerutu terhadap sikap teman-temannya bandnya.
“Em, tapi jangan lama-lama, ya! Aku ada terapi sore ini,” sahutku berbohong.
“Enggak, paling kalau udah dapat barangnya, aku cari makanan buat makan kita. Aku lapar, nih! Kamu mau kubawakan apa?”
“Makan di warungku aja, gimana? Ibu masak banyak lho, sayang kalau nggak habis terjual,” pintaku sedikit merengek. Padahal takut kelamaan nunggu Shaka. Bisa batal rencana ku sore ini. Lalu, sambil menengok ke luar jendela, aku menatap langit yang digelayuti awan hitam. “Tuh, lagian bentar lagi mau hujan. Jangan lama-lama!”
Shaka pun tak memaksakan kemauannya. Tumben banget, kali ini ia mengalah.
Tampaknya, setelah mendapatkan senar gitar yang diinginkan, Shaka langsung menuju warung Ibu. Ibu menyambut ramah kedatangan Shaka. Ia bahkan menghidangkan semua masakan yang tersaji di warung. Terlihat sekali kalau ibu menyukai Shaka. Shaka memang pintar ngomong dan pandai mengambil hati Ibu.
Selesai makan dan ngobrol sebentar, Shaka berpamitan. Tentu saja aku tak menahannya.
“Beneran nggak mau diantar ke tempat terapi? Aku bisa tukar kendaraan dulu ke rumah. Kebetulan mobil Papa nganggur,” ujarnya menawarkan niat baiknya.