“Rean, hati-hati bawa mobilnya. Sepertinya perjalanan kita malam ini akan disertai hujan deras,” ujar Papa memperingatkan. Dari raut wajah yang sudah dihiasi kerutan, tampak jelas ada kekhawatiran. Papa, meskipun mengajarkan banyak hal untuk berani menghadapi apa pun dalam menjalani hidup, tetapi masih saja mencemaskan aku.
Mama pun refleks menengok ke luar jendela mobil, sambil menunjuk. “Betul. Di arah sana sudah terlihat kilatan petir. Jalan pelan-pelan saja, Re!” tambahnya.
“Tenang aja, Ma, Pa! Meskipun nggak sehandal Pa Dirman, aku udah mahir, kok. Mobil ini udah kutaklukkan. Jadi, Mama dan Papa nggak usah khawatir.” Aku berusaha menenangkan orang tuaku.
“Ma, anak muda macam Rean, mana bisa dibilangin,” ujar Papa mengejek putra satu-satunya ini. Aku melihat lewat kaca spion dalam, Papa berucap seraya melirik Mama dengan tertawa kecil.
“Betul Pa, Re hanya mau denger apa kata Yura. Kita mah apa atuh, sekarang udah nggak dianggap lagi!” sahut Mama dengan logat Sundanya yang kental, seolah terpancing.
“Ya nggak gitu juga, kali, Ma! Ah, Re ‘kan masih anak Mama-Papa. Masa sih, nggak mau dengerin? Re nggak mau jadi anak durhaka, takut dikutuk jadi pangeran tampan!” protesku, membuat mereka tertawa.
Awalnya, aku tak akan ikut ketika Mama dan Papa mengajak ke acara pernikahan putri Pak Bim di Sumedang, kampung halamannya. Pak Bim adalah orang kepercayaan orang tuaku sejak lama. Ia telah bekerja membantu keluargaku, sejak aku masih anak-anak. Aku menolak karena telah berjanji kepada Yura, akan menemaninya memesan cincin pertunangan. Namun, ketika Pak Dirman, sopir pribadi keluarga berhalangan karena sakit, mau tak mau aku harus menggantikannya. Walau sebenarnya masih ada sopir lainnya, Papa tak mau mengganggu hari libur mereka di akhir pekan. Untungnya, Yura mau mengerti yang akhirnya berangkat sendiri.
Betul juga perkiraan Mama-Papa. Hujan mulai turun dan kian menderas diikuti kilatan petir yang sesekali menerangi jalan yang telah gelap. Suara gelegarnya saling bersahutan di tengah perjalanan menembus Kota Bandung menuju Lembang. Aku tak ingat lokasi tepatnya di mana, hanya tak seberapa lama setelah memasuki wilayah Bukit Dago.
Selama perjalanan, kami tak henti mengobrol dan bercanda. Kami berusaha menghilangkan ketakutan akan situasi di luar mobil yang kukemudikan. Mencekam memang kalau pikiran terfokus pada keadaan sekitar. Kami bertiga masih terbahak-bahak hingga dering panggilan dari ponselku berbunyi. Aku meraihnya di atas dasbor, untuk melihat siapa yang menelepon.
“Ah, Yura! Pasti ia sudah kengen. Sehari saja nggak ketemu, sudah pasti gelisah seperti diriku,” kataku dalam hati.
“Siapa, Re? Yura?” tanya Mama. Aku hanya mengangguk.
“Nanti saja teleponannya, banyak petir, Re!” Papa lagi-lagi mengingatkan.
Kuletakkan kembali ponsel itu di tempatnya. Aku tak membantah perintah mereka. Lagian, tak ada yang salah dengan ucapannya.
Namun, ponsel kembali menyala, bergetar, dan berbunyi. Aku ragu untuk mengambilnya. Akan tetapi, luluh juga hati ini ketika benda pipih itu terus menerus berbunyi. Kali ini, aku harus mengangkatnya. Barangkali saja ada hal sangat penting yang akan disampaikan Yura, sehingga tak berhenti melakukan sambungan.
Aku menerima panggilan itu seraya melihat reaksi kedua orang tuaku dari kaca spion. Sempat raut kecewa tertangkap dari wajah cantik wanita yang melahirkan aku, 25 tahun yang lalu. Namun, aku tak mau pedulikan. Panggilan Yura mungkin lebih penting.