Teriakan itu ... kemudian disusul suara erangan yang kemudian hilang dari pendengaranku. Aku terhenyak. Itu suara Mama dan Papa. Lalu, di mana mereka kini? Bagaimana keadaannya? Jangan-jangan ... ah, aku tak boleh berpikiran buruk. Mereka pasti baik-baik saja, dan pastinya sudah menungguku di rumah. Rasa rindu menyeruak dari dalam dada. Aku ingin segera melihat mereka. Harus kupastikan bahwa tak terjadi apa-apa terhadap kedua orang yang kucintai itu.
“Mama dan Papa mana, Pak Bim? Gimana keadaan mereka?” tanyaku sambil meringis menahan nyeri di punggung, saat bergeser. Aku bermaksud menambahkan bantal untuk bersandar. Tubuhku sudah terasa pegal karena tiga hari terbaring. Padahal, ranjang bagian atas, sudah disetel agak dinaikkan.
Pak Bim buru-buru membantu menyelipkan bantal di punggungku. Kutatap wajah kuyu Pak Bim yang kemudian berdiri di samping pembaringan. Gurat lelah tampak jelas diri raut muka, serta sorot matanya. Aku tahu, ia pasti tidak tidur karena menunggui diriku. Alih-alih menjawab pertanyaanku, Pak Bim seolah menghindar dengan mengalihkan pembicaraan.
“Den, sebentar lagi dokter akan memeriksa kaki Aden yang luka. Kata dokter hanya memar karena benturan.” Pak Tua itu berkata tanpa berani menatapku. Ia seakan menyembunyikan sesuatu, yang sebetulnya tak bisa ia tahan.
“Pak Bim! Bapak belum menjawab pertanyaanku!” Aku sedikit menghardik. Sebetulnya aku tak tega jika harus membentak. Walau bagaimanapun, aku sangat menghormati layaknya orang tua sendiri. Mama-Papa pun mengajarkan aku untuk selalu menghargainya dan bersikap sopan. Pak Bim telah menjadi anggota keluarga kami. Papa sangat percaya dan sayang padanya. Segala keperluan apa pun, ia yang urus tanpa mengecewakan. Aku selalu memanggilnya Bapak. Sedangkan, ia tetap memanggilku Aden, sebutan untuk anak majikan di daerah Sunda, meski seringkali kami larang.
“Pak, aku nggak menanyakan kakiku. Masa bodoh dengan kakiku. Aku ingin tahu kabar Mama dan Papa,” jelasku mulai tak sabar.
Pak Bim kembali gugup. Ia terlihat ragu-ragu untuk membuka mulut.
“Bapak!” Aku terpaksa membentak. Lelaki berkulit hitam itu tersentak.
“Em ... I–iya, Den. Iya, Mama dan Papa Aden, ada di rumah. Mereka baik-baik saja!” Akhirnya, Pak Bim menjawab dengan terbata-bata.
Harusnya, aku merasa lega mendengar jawaban Pak Bim. Namun, jauh di lubuk hati, ada kekhawatiran yang tak biasanya kurasa. Ada ketakutan, dan rasa tak ingin kehilangan. Aku berdoa, semoga saja apa yang dikatakan Pak Bim, benar adanya. Selama ini, ia memang tak pernah berbohong, tetapi kali ini, aku meragukannya. Kata hatiku seolah berkata lain.
Baru saja aku berniat menyuruh Pak Bim untuk menelepon ke rumah, Om Gani, adik Mama datang. Ia bersama Tante Vina istrinya, serta Andhika, anak lelakinya. Mereka terlihat senang melihat aku sudah bangun.
“Syukurlah, Re. Om dan Tante, juga saudaramu ini, sudah bolak-balik menjengukmu sewaktu koma di ruang ICU,” ucap Om Gani seraya menghela napas. “Lega rasanya melihatmu sudah dipindah ke kamar rawat inap. Itu berarti, kesehatanmu sudah membaik. Tinggal pemulihan saja Om rasa.”
“Makasih, Om, Tante, Dika. Aku udah mendingan,” sahutku. “Oya, kalian sudah jenguk Mama dan Papa? Bagaimana keadaannya?”