Cintai Cinta

Rina F Ryanie
Chapter #8

8. Dua Pusara Merah

“Alhamdulillah, selamat! Akhirnya nyawanya tertolong. Terima kasih, Ya Tuhan. Engkau masih melindungi anak ini.”

Samar-samar kudengar suara yang sangat kukenal itu. Suara Pak Bim bernada bahagia disertai rasa syukur. Apa yang tengah terjadi denganku?

“Pak, Bapak ...?” ucapku memanggil lirih.

“Aden! Aden siuman. Aden selamat, Ya Allah! Jangan lakukan perbuatan seperti ini lagi, ya, Den!” Pak Bim tersenyum semringah, tetapi disertai mata yang basah.

Ah, sekarang aku baru ingat. Tadi malam, aku mencoba menyayat urat nadi di tanganku. Ya, aku memang berniat menghabisi nyawa dengan cara itu. Aku ingin menyusul orang tua. Di sana, aku akan memohon ampun dengan kelakuanku yang menjadi penyebab mereka terpisah dari dunia. Terpisah dari anak dan keluarganya, serta kehidupannya.

Lalu, mengapa hanya aku yang diselamatkan? Mengapa aku masih diberi kesempatan untuk hidup? Tak ada gunanya. Aku tak punya siapa-siapa lagi. Untuk apa aku bertahan hidup? Semua akan sia-sia, tak akan ada lagi yang kuperjuangkan. Andaikan tetap hidup pun, aku pasti akan menderita dan tak akan bisa menikmatinya. Kini, aku benar-benar sendiri.

“Den, setelah keadaan Aden membaik, kita akan segera pulang. Itu kata dokter yang periksa tadi pagi,” jelas Pak Bim. Terlihat sekali kelegaan perasaan di wajah lelahnya. Lelaki yang sudah punya dua cucu itu semangat membereskan barang-barang yang akan di bawa pulang.

“Untuk apa aku pulang, Pak? Di rumah pun nggak ada siapa-siapa. Aku lebih baik ikut pulang ke rumah mereka di surga.”

“Ah, Aden ini. Masih saja bicara nggak karuan.” Pak Bim menatapku dengan pandangan memelas. Kemudian melanjutkan sambil memasukkan tumpukan pakaianku ke koper. “Kan masih ada Bapak, Pak Dirman, Mang Endang, Bi Minah, Ceu Kokom, juga petugas satpam. Kami yang akan mengurus Aden.”

Mendengar ucapannya yang panjang lebar, aku terdiam. Bapak itu berusaha menghibur dan meyakinkan aku untuk tidak takut pulang. Sebenarnya aku kasihan, ia begitu tulus membantu agar aku bangkit. Namun, jiwaku masih dikuasai buncahan emosional.

“Baiklah, tapi sebelum ke rumah, antarkan dulu ke makam Mama dan Papa.” Akhirnya, aku pun memutuskan untuk menurut apa kata Pak Bim.

 Lelaki telaten dalam melayani keluargaku itu terlihat tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya. Berulang kali, ia menarik napas lega seraya menyebut asma-Nya.

Lihat selengkapnya