Penolakan Rean terhadapnya membuat Yura terheran-heran. Selama setahun lebih membina hubungan asmara dengan lelaki yang dipujanya itu, baru kali ini ia diperlakukan seperti itu. Salah apa dia terhadap Rean?
Padahal, Yura setiap hari menjenguk Rean sewaktu koma di rumah sakit. Ia yang sepanjang waktu melangitkan bait-bait doa untuk kesembuhan kekasihnya itu. Namun, ada apa dengan Rean?
Rean tak mau berbicara dengannya, bahkan tak mau menerima teleponnya. Gadis berkulit putih itu pun baru mengetahuinya dari Pak Bim. Ratusan panggilan telepon, juga mengirim pesan ke beberapa aplikasi ruang obrolan, tak pernah dianggap. Hal ini membuat Yura bertanya-tanya
Namun, Yura tak mau nenyerah. Ia mencoba menghubungi Rean kembali. Seperti saat ini, ia tampak beberapa kali mengulang panggilan dengan mimik jengkel. Beberapa saat kemudian, embusan napas panjang keluar dari mulutnya seolah sedang membuang kekesalan.
“Duuh, kenapa sih, dia nggak mau angkat teleponku?” keluhnya terlihat sangat kesal.
Yura tak tinggal diam. Letupan-letupan emosi disertai aliran darah yang mulai bergolak, mendorong niatnya untuk menemui Rean secara langsung. Tak bisa dibiarkan, ia harus membuat perhitungan.
Bergegas ia menuju sedan putihnya setelah menyambar tas serta kunci kendaraan yang tergantung di rak khusus kunci. Kaca mata hitam selalu tak ketinggalan bertengger di kepalanya.
Sepanjang jalan, Yura tampak gelisah. Telapak tangannya yang luwes mengendalikan setir, tak berbanding dengan hatinya. Kerap gadis yang baru bekerja di bank swasta itu menggigit bibir sekadar menahan gundah. Kadang mendesah seakan membuang resah.
Petugas keamanan rumah yang berjaga di pos depan, segera membukakan pagar ketika mobil Yura tiba dan membunyikan klakson. Sepertinya Yura bukan tamu asing di rumah itu. Mobil langsung memasuki halaman rumah yang luas, cukup untuk parkir sekitar tiga atau empat kendaraan di luar garasi.
Gadis bermata bulat itu langsung mencari Tuan Muda di ruang galeri lukisan. Benar saja, Rean sedang asyik mengusap-usap kuas cat warna-warni ke kanvas putih. Yura tertegun melihat sketsa wajah perempuan pada lukisan kekasihnya itu. Ia tak mengenali wajah modelnya karena belum begitu terlihat jelas. Di ruangan itu, Rean menghabiskan sisa waktunya setelah kuliah dan aktivitas lain. Hobi melukis ia geluti sedari kecil. Bakat dari papanya yang pandai memindahkan rupa orang ke dalam kanvas, menurun ke dirinya. Beberapa lukisan indah terpajang menghiasi dinding ruang yang menghadap ke taman dan kolam renang.
Rean tersentak saat menyadari Yura berada di belakangnya. Ia buru-buru menutup lukisan setengah jadi itu dengan kain putih.
“Wajah siapa yang kamu lukis? Kok aku nggak kenal?” tanya Yura, masih berdiri di ambang pintu galeri mini itu.
“Nggak perlu tahu!” jawab Rean ketus. Seraya berdiri, lalu berbalik ke arah Yura. “Ngapain kamu ke sini?”