Yura masih tak habis pikir tentang sikap Rean terhadapnya. Menyakitkan dan
tentu saja Yura merasa harga dirinya direndahkan. Ia yang sebelumnya dipuja dan dimanja Rean bak ratu, kini dihinakan. Yura masih tak bisa melupakan ketika Rean menyuruh angkat kaki dengan mengangkat telunjuk. Perih.
“Aku kecewa dengan sikap Rean. Tapi aku nggak boleh nyerah! Nggak, aku nggak bisa ngebiarin semua ini terjadi. Ini pasti ada yang nggak beres. Aku harus cari tahu.” Yura membatin. Tatapannya tertuju pada air teh hijau hangat yang masih ia aduk-aduk dengan sendok.
“Anak Mama kok melamun? Ada apa? Masih mikirin Rean?”
Yura tersentak oleh suara lembut mamanya yang sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu buru-buru tersenyum, tapi terlihat hambar. Kedua matanya sembab dan memerah.
“Nggak, Ma. Yura nggak ngelamun, kok,” jawabnya berpura-pura tak terjadi apa-apa.
“Mama ngerti, Sayang. Ini ujian dalam hubungan kalian. Apalagi mendekati waktu yang kalian nantikan,” ujar Iren menarik napas, menatap kosong ke arah jendela. “Dulu, Mama ingat sebulan setelah pernikahan, tiba-tiba papamu menghilang. Padahal, di perut mama sudah ada kamu. Saat itu Mama putus asa, bahkan sempat mau menggugurkanmu. Namun, Mama nggak mau melakukan kesalahan besar. Hingga kamu lahir, papamu datang. Itu pun hanya sebentar-sebentar karena bertugas di luar kota.”
“Yura tahu itu yang dimaksud ujian sama Mama. Itu karena Papa masih cinta, Ma. Tapi masalahku ini nggak seperti Mama pikirin. Berat, Ma! Rean udah berubah, Rean jadi benci Yura! Padahal Yura nggak tahu salah apa, Ma!”
Tangis Yura pun pecah. Mama Iren mendekap putri sulungnya yang beranjak dewasa. Yura membenamkan wajahnya di dada perempuan yang melahirkan dirinya itu untuk menumpahkan segala duka. Mama Item mengelus lembut rambut panjang Yura.
“Kalau Mama boleh tahu, kenapa Rean membencimu? Selama di rumah sakit, kan anak Mama selalu menjenguknya.”
“Yura nggak tahu, Ma. Sejak itu, Rean nggak mau ngomong atau ditemui.” Yura mengadu sambil sesenggukan.
“Sudahlah, kamu harus sabar. Kondisi mental Rean masih terguncang, emosinya masih belum stabil. Kamu harus maklum, nanti juga pasti biasa lagi,” hibur Mama Iren seraya mencium puncak kepala putri cantiknya.
“Yura ngerti kok, kondisi kejiwaan Re sekarang. Tapi Yura ngerasa aneh aja,” ujar Yura sambil menegakkan kepalanya, lalu menatap mamanya. “Yura nggak akan nyerah, Ma. Yura akan sabar.”