“Ta, itu kayaknya mobil temanmu yang di rumah sakit itu, ya?” ujar Ibu menunjuk sedan biru metalik yang baru terparkir di depan warung.
“Mana, Bu?” jawabku sambil menggerakkan tangan untuk memajukan kursi roda. “Oh, iya! Ada apa, ya? Padahal Rean nggak bilang mau ke sini.”
Mereka memperhatikan pintu mobil terbuka. Seorang lelaki tua keluar dengan memangku benda kotak pipih seukuran cermin meja rias di kamarku.
“Pak Bim!” seruku dan Ibu bersamaan.
Pak Bim masuk ke halaman warung, tetapi ibuku menghadangnya di pintu warung.
“Pak, masuk ke samping saja, biar nggak keganggu orang makan!” ujar Ibu mengantar Pak Bim ke rumah di samping warung yang menjadi tempat tinggal kami.
Aku mengayuh roda yang menjadi kakiku sejak kecelakaan itu, menuju ruang tamu. Di sana, Pak Bim sudah duduk di kursi masih memangku barang itu. Pak Tua itu tersenyum sambil mengangguk saat melihatku. Aku membalasnya dengan seramah mungkin.
“Rean nggak ikut, Pak?” tanyaku berbasa-basi. Tentu saja aku tahu Rean tak mungkin bepergian sementara faktor kejiwaannya masih belum pulih.
“Nggak, Neng Cinta. Den Rere cuma nitipin ini buat Neng,” jawab Pak Bim seraya menyerahkan barang di tangannya.
“Apa ini, Pak? Beneran buat saya?” tanyaku meyakinkan.
“Iya atuh, Neng. Masa buat ibunya? Oh iya, kalau buat Ibu mah ada, saya hampir lupa. Sebentar, Neng. Saya panggilkan Pak Dirman buat ambilkan!” ujar Pak Bim sambil bergegas ke luar pintu untuk memanggil sopir yang mengantarnya. Tak lama setelah itu, Pak Dirman datang dengan sekeranjang buah-buahan segar dalam bentuk parsel.
“Nah, ini titipan buat ibu Neng Cinta.”
“Makasih, Pak. Maaf ya, kami sudah ngerepotin Bapak-bapak,” ucapku malu-malu.