"Jika hidup ini menyajikan banyak pilihan dan aku harus memilih, maka pada pilihan mana aku harus menjatuhkannya?"
Pilihan yang ditawarkan cukup sederhana, bahkan bisa dibilang ini bukan pilihan, namun bisa serupa ketentuan, "Kau terima pinangan ustadz Zainal." Ucap ayahku malam itu. Malam yang terasa seperti membuat malam benar-benar pekat dan langit seperti mau runtuh di mataku.
Ustadz Zainal adalah sosok ustadz muda, berbakat, tampan, dan ganteng yang diidolakan oleh santri-santri di pondok pesantren Nurul Jannah. Semua santri mengenalnya, termasuk aku.
Sementara aku yang tengah duduk tertunduk di depan ayah hanya bungkam tak mampu berkomentar. Begitu sempurna aku menunduk, seperti menghadapi sebuah mimpi yang akankah mimpi itu nanti akan berakhir dengan indah. Sedang saat ini aku disuguhi sabda sang ayah, untuk menerima pinangan sang ustadz yang selama ini padanya aku begitu menaruh hormat.
"Kenapa perjalanan hidup tak pernah bisa diprediksi? Tak pernah bisa ditebak. Penuh teka-teki dan sandi," kataku pada resah yang menyelimuti diri.
Ucapan ayahku seperti halilintar yang menyambar tubuh. Tak ada yang salah sebenarnya dengan pinangan ustadz Zainal. Ia sosok ustadz muda yang berwibawa, punya karismatik yang luar biasa, kualitas ibadah pun tak perlu diragukan lagi. Dan tentunya ia adalah sosok calon suami yang setia. Suaranya juga merdu kala mengumandangkan azan, apalagi saat melantunkan bacaan Alquran. Tak satu pun dari santri putri yang tidak terkagum-kagum. Apa yang kurang yang disuguhkan ustadz muda ini. Tak ada yang kurang. Ia sosok yang sempurna di hadapan umat. Bahkan bisa dibilang dialah sosok Nabi Yusuf milenial, karena tampangnya yang ganteng.
Tak ada yang salah juga dengan sabda ayah. Beliau tentu menginginkan putri tercantiknya mendapatkan jodoh yang terbaik seperti ustadz Zainal. Ayah tentu tak menginginkan putri tercantiknya mendapatkan jodoh yang tak sempurna untuk dimensi akhirat maupun untuk hal keduniaan.
Aku paham sebenarnya dengan apa yang baru saja disampaikan ayah. Seandainya aku sebagai orang tua pun menginginkan hal yang terbaik buat anak-anaknya.
Namun persoalannya bukan hanya di situ. Urusan menerima pinangan erat kaitannya dengan pernikahan. Dalam pernikahan akan melibatkan sebuah perasaan, yaitu cinta. Persoalannya seberapa besar aku bisa mencintai ustadz Zainal. Seberapa ikhlaskah hati ini menerima dia sebagai pasangan hidupku.
Pikiranku rusuh melayang kemana-mana. Anganku seperti kehilangan arah lagi. Apalagi hatiku, seperti kehilangan tambatan. Bagaimana aku harus menjawab sabda ayah.