Tiba di rumah aku seperti tak ada mood untuk melakukan apapun. Jangankan melakukan sesuatu untuk ngomong pun rasanya enggan. Aku masih memikirkan banyak hal tentang kalimat - kalimat Kristan tadi. Aku berusaha memahami dan mencernanya. Tapi entah kenapa aku seperti masuk ruang kosong. Sepi, gelap, dan tak berpenghuni.
Semuanya hanya soal waktu. Andai saja aku boleh memundurkan jawaban itu, maka aku takkan pernah memberikan jawaban. Aku pasti akan terus menghindar, sebisa mungkin. Dan entah kenapa, bahkan sampai saat aku pulang dari kantor galerinya Kristan, aku tak juga menemukan jawaban yang harus kuberikan. Semuanya seperti ada di jalan buntu. Hanya aku yang tetap terpaku di sini, di ruang tamu rumahku yang cukup luas dan besar.
Semua yang kuhadapi hanyalah sebuah kebingungan. Kebingungan yang selalu berujung pada kesedihan yang panjang. Tak terasa air mataku pun menitik. Sebuah paradoks kehidupan, itulah yang kini kuhadapi. Seperti itulah yang kini disuguhkan Allah dalam hidupku. Bahwa sering kali rencana Allah akan berbeda dengan rencana kita. Apa yang dikehendaki Allah sering kali berbeda dengan kehendak kita.
Kali ini aku benar - benar hanya bisa pasrah, pasrah di antara batin yang kian teriris. Namun, bagaimana pun aku mesti menyadari, tak ada manusia yang tahu apa rencana Allah. Sebaliknya, sampai saat ini pun aku juga tidak tahu, jawaban apa yang nantinya bakal aku berikan buat sang ustadz idola. Aku benar - benar ada pada titik terhebat dari sebuah kebingungan. Dan menitipkan air mata masih menjadi alternatif terhebat yang bisa aku lakukan untuk saat ini. Seandainya saja perjalanan hidup ini tak pernah mempertemukan aku dan Kristan, barang kali aku tak akan dilanda kebingungan ini. Hidup dengan orang yang dicintai bagiku saat ini, masih menjadi hal yang penting. Meski juga diujungnya aku tak pernah tahu bisakah nantinya aku dan Kristan bersatu. Karena hanya bermodal cinta saja sering kali tak cukup untuk mempersatukan takdir.
Rasanya terus berdiam diri dalam duka yang berkepanjangan, kusadari sesungguhnya bukan jalan yang terbaik. Aku harus segera punya komitmen untuk tetap kuat dengan segala keputusan yang akan ku ambil. Draf awal dari keputusan yang aku persiapkan, yaitu bagaimana aku tetap mempertahankan hubunganku dengan Kristan.
Bertekad seandainya nanti ayah marah, akan kuterima segala risikonya. Apa pun itu. Ya, apa pun itu.
Maka atas wujud pasrahku ini, aku bangkit dan berdiri untuk mengambil air wudhu. Aku ingin memohon petunjuk Allah melalui salat Istikharah. Ada rasa tenang yang bergelayut mengiringi langkah kakiku. Ketenangan yang mungkin muncul karena air mata ini sejatinya sudah mengering dan tak tersisa lagi untuk diteteskan. Dengan kepasrahan total ini aku berharap takdir nantinya dengan manis berpihak pada keinginanku.
"Bismillahir-rahmanirrahim" dengan daya konsentrasi tinggi kuraih mukenaku yang terbiasa kugantung di dinding. Ku hamparkan sajadah, kugelar di atas tikar sederhana. Ku bulatkan tekad untuk memohon pada Allah melalui salat Istikharah. Dengan khusu' ku ucapkan takbir sebagai awal ritualku dengan sang Pencipta.
Entahlah kenapa dalam sujud, air mata ini menetes kembali. Namun sekuat jiwaku, aku memohon dalam doa untuk memperoleh ketenangan hati. Selebihnya aku memohon petunjuk yang terbaik atas aku, Kristan, dan ustadz Zainal. Setelah menutup salat dengan salam, ku putar tasbih di tangan untuk melanjutkan dengan dzikir, mengharap ampunan, rahmat, keberkahan, dan petunjuk-Nya.
Rasanya masih enggan beranjak meninggalkan sajadah ini. Tanganku masih asyik menengadah, berhias tasbih di telapak tangan. Dua katup bibirku pun masih manis mengucap doa. Rasanya dengan tetap berdoa semua masalah seperti terlupakan. Bahkan semua aktivitas dunia seperti tak berarti lagi.
*****
Pagi harinya, matahari masih berhias emas. Cerahnya begitu menggoda, meskipun kabut belum sepenuhnya menghilang. Aku masih berpakaian olahraga, baru saja aku melakukan peregangan ringan. Olahraga, sebuah kebiasaan yang beberapa hari ini aku tinggalkan sejak munculnya permasalahan dengan ustadz Zainal. Namun pagi ini aku harus berubah. Aku ingin menjadi Aisyah yang lincah dan gesit seperti dulu lagi, meskipun masalah masih membalut hati.
Menunggu keringat mengering, aku duduk di teras rumah. Meski wajahku belum merona kembali, tapi setidaknya resah di hatiku sedikit berkurang.