Terdiamku menatap lautan yang luas. Warna langit mulai berubah, memunculkan warna orange dan memecah warna hitam yang menyelimuti langit. Di dalam diamku, aku mengingat kembali kenanganku bersama Ana. Gadis mungil berwajah khas Jawa dengan kulit putihnya, yang berhasil mencuri hatiku.
Pertemuan kita empat tahun yang lalu, masih jelas diingatanku. Saat pertama kali, aku memasuki ruang kelas di lantai 5 gedung kampusku. Aku langsung terpaku pada seorang gadis yang sedang melamun, melihat keluar jendela. Terlihat rambut panjang hitamnya yang tergerai dan bergerak lembut dibelai angin yang memasuki ruang kelas. Kaget dan segaligus kagum, karena menemui satu perempuan di kelas yang biasanya hanya didominasi oleh para pria.
Aku masuk jurusan ini sebenarnya ada alasannya, salah satunya tidak ingin ketemu makhluk yang bernama perempuan. Entah sejak kapan, aku mulai mengidap penyakit alergi terhadap perempuan. Bahkan waktu SMP kelas VIII, aku sampai pingsan entah karena apa. Tetapi saat itu, aku mendengar sayup sayup suara perempuan berteriak memanggil namaku.
Dan itu tidak terjadi satu atau dua kali. Setiap ada kontak fisik dengan perempuan baik disengaja atau tidak disengaja tiba–tiba akan muncul ruam merah di setiap anggota tubuhku. Saat tubuhku tidak kuat menahan panas akibat ruam merah tersebut, aku pun pasti terjatuh pingsan.
Mbok Inah yang mengetahui kondisiku ini, menyarankan pada Ayah untuk aku sekolah di rumah saja (home schooling). Hanya saja, sampai sekarang Mbok Inah tidak pernah bilang pada Ayah tentang penyakitku. Mbok Inah yakin, penyakit yang aku alami lambat laun pasti akan sembuh. Tapi nyatanya, sampai saat aku hampir tamat perguruan tinggi penyakit itu belum juga sembuh.
Sudah lima tahun lamanya, aku belajar di rumah. Perempuan yang ku kenal, hanyalah Mbok Inah seorang. Mbok Inah dan suaminya Mang Hasan tidak dikaruniai anak. Sehingga mereka sangat senang, saat Mama mengajak Mbok Inah untuk tinggal di rumah. Waktu itu usiaku baru dua tahun, saat Mbok Inah datang ke rumah. Aku sangat dekat dengan Mbok Inah dan mang hasan, daripada dengan orang tuaku. Mama memang pulang setiap hari, tetapi pergi pagi dan pulang malam. Jarang sekali aku berinteraksi dengan Mama.
Perempuan adalah makhluk yang sangat aneh bagi diriku. Aku juga baru sadar, saat aku sudah sekolah di rumah.
“Den… den Wisnu, bangun.” Suara lembut perempuan yang sangat akrab denganku mengusik tidur malam ku yang indah.
“Ya Mbok, bentar lagi,” kataku seraya menarik kembali selimut, menutupi kepalaku.
“Udah jam tujuh Den, nanti gurunya keburu datang,” kata Mbok Inah lagi.
Mbok Inah terus berusaha membangunkanku. Dan akhirnya, akupun terbangun dengan rasa malas menyelimutiku. Aku langkahkan kaki dengan lemas ke kamar mandi yang berada di kamarku. Rutinitasku di kamar mandi, pasti dari kaki dulu yang aku basahi. Aku bermain air, sambil mengingat kembali pelajaran apa yang akan dipelajari hari ini.
“Hari ini belajar sama Om-Om killer atau sama Mamy cantik ya?” kataku sambil terus mengusap badanku yang sudah dipenuhi oleh busa sabun.
“Mamy cantik kayak Mama,” kataku sambil mengingat wajah Mama yang hampir aku lupakan. Jika saja aku tidak punya foto Mama, pasti aku sudah lupa seperti apa wajah Mama.
“Aku kangen Mama.” Pikiranku entah melayang kemana.
Dulu, walaupun jarang ketemu Mama. Tetapi, aku masih bisa merasakan kehangatan Mama dan wanginya saat tiduran dipangkuan Mama. Namun, entah kenapa aku merasa ada sepotong ingatan tentang Mama yang aku lupakan. Ada seperti ruang hampa yang aku rasakan dan entah apa itu.
“Den…. Den…. Ayo cepatan mandinya. Kita sarapan Den.” Ketukan pintu Mbok Inah membangunkan ku dari lamunan tentang Mama.
“Iya Mbok, dikit lagi,” sahutku.
Beginilah rutinitas setiap hari, selama sekolah di rumah. Makan sendiri, bahkan main juga sendiri. Benar-benar hampa hidup tanpa teman. Tapi sudah mulai membiasakan diri, apalagi setelah menemukan hobi baru yang cukup menyita banyak waktuku. Dan mempunyai rumah yang lengkap segala fasilitas hiburan tidak membuatku merasa sedih, hanya sedikit sepi.
“Ting... Tang… Tung…. “ bunyi bel rumahku. Itu artinya guruku sudah datang. Sambil sedikit bermalas – malasan duduk di depan TV, aku melirik sedikit untuk melihat siapa guru yang datang hari ini. Aku melihat sekilas kaki putih yang jenjang, dengan rok berwarna hijau berbentuk A yang menutupi lutut serta dipadankan dengan blus berwarna krem. Sungguh gaya berpakaiannya, seperti gaya Mama memadukan warna. Aku sangat suka dengan guruku yang satu ini.
Dengan sedikit berpura-pura tidak melihat kehadirannya, aku masih asyik melihat TV yang sebenarnya tidak sedang aku simak acaranya. Aku ingin sekali mendengar suara Bu Lita memanggil namaku, seolah Mama sedang memanggil. Aku benar-benar sedang kangen sama Mama.
“Selamat pagi, Wisnu,” sapa manis Bu Lita, dengan senyum yang merekah dari bibirnya.