Libur semester akan segera berakhir. Dan sudah tiga hari tiga malam, kita sengaja menghabiskan waktu libur di tepi pantai. Teman-temanku terlihat sangatlah menikmati liburan mereka kali ini. Tapi tidak dengan aku.
Tujuan aku mengajak mereka liburan di sini sebenarnya, aku ingin menembak Ana sebagai pacarku. Bahkan, kalau dia mau akan aku jadikan istriku. Walaupun, dia hanya perempuan sendiri di tempat liburan kami ini. Dia bisa menyiapkan makanan buat kami lima belas orang laki-laki, yang porsi makannya bisa dibilang sangat sangat jumbo. Ya walau, makanannya tidak semua Ana yang membuat. Paling, Ana masak hanya buat sarapan saja. Sedangkan makan malam, aku selalu menyuruh dia untuk memesan layanan pesan antar makanan.
“Dia sangat menikmati peran dia sebagai ibu dan juga istri.” Pikirku sambil senyum-senyum sendiri, memperhatikan dia yang sedang sibuk masak sarapan di dapur.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku sambil masih tetap duduk manis di kursi meja makan yang ada di tengah dapur itu.
“Tidak usah, bukannya ngebantu nanti malah kerjaan dua kali,” kata dia masih tetap memunggungiku.
Ana, orang yang sangat tidak mau menerima bantuan apapun dan dalam hal apapun. Walaupun, dia tahu orang tuaku kaya, dia tidak pernah memanfaatkan semua tawaran yang aku berikan padanya. Terkadang malah, sempat aku berfikir kalau Ana tahu tentang penyakitku. Walaupun, sudah empat tahun kita bersama, kuliah di tempat yang sama. Ana tidak pernah menyentuh ku sama sekali. Tidak seperti gadis-gadis lain dari fakultas yang lain, yang ketemu langsung ingin cium pipi kanan pipi kiri. Untungnya ada Andre, dialah satu-satunya orang yang tahu penyakitku. Dan aku selalu berpesan ke Andre, agar dia tidak memberitahu siapa pun termasuk Ana.
“Pokoknya hari ini aku harus berhasil menyatakan cintaku pada Ana,” dumelku dalam hati. Dan aku belum juga pindah dari tempat dudukku, dengan terus memandangi Ana yang terlihat sangat manis saat sedang memasak. Apalagi, dia sedang memasak kue bolu tape kesukaanku. Ana sangat tahu makanan kesukaanku. Aku tidak terlalu suka masakan ala-ala barat, lidahku lebih cocok masakan Indonesia. Karena Mbok Inah selalu memasak masakan khas Indonesia.
Ini sudah percobaan yang ke dua puluh kali aku mencoba menyatakan cintaku. Dari yang spontan tanpa persiapan, sampai yang dengan persiapan yang menurutku sudah sangat matang. “Dalam satu tahun aku mencoba nembak dia dua puluh kali, padahal setahun cuma ada dua belas bulan,” pikirku sambil menggarut-garut kepalaku yang tidak gatal.
“Ting…. “ oven listrik berbunyi, tanda kue yang Ana buat sudah matang. Dengan berlahan Ana mengeluarkan kue tersebut dari dalam oven.
“Mau coba duluan enggak?” tawar Ana padaku sambil menata kuenya di atas piring. Entah perasaan ku atau bukan. Selama aku duduk di sini, tidak sekalipun Ana melihat ke arahku. Bahkan, saat dia menawarkan kuenya tadi, dia hanya melihat ke piring yang berisi kue buatannya.
Aku berjalan ke arah Ana tanpa ragu, dan sekarang aku ada persis di sampingnya. Antara ragu, takut dan senang, rasa itu bercampur jadi satu sekarang.
“Ambilin dong kuenya,” kataku manja sambil melihat ke arah Ana.
Lalu Ana potong bagian kecil untukku, dan diletakkannya kue tersebut di atas piring kecil. “potong-potong kecil lagi dong, biar gampang makannya,” godaku berharap dia mau melihat ke arahku walapun dengan ekspresi kesal. Tetapi, tetap saja dia terdiam sambil memotong kecil kuenya seukuran satu kali suap masuk ke dalam mulut.
“garpunya mana?” tanyaku lagi. Ana pun mengambil garpu dan meletakkannya di samping piring kue. Sebelum garpu terlepas dari tangan Ana, aku raih tangan Ana dengan cepat dan menuntunnya untuk mengambil kue, lalu menyuapkannya ke mulutku.
Debaran yang luar biasa aku rasakan dari jantungku. Dan aku harap Ana tidak mendengarnya. Jantungku berdebar sangat kencang, bukan hanya karena memegang tangan Ana. Tetapi, karena khawatir aku akan pingsan setelah aku melakukan ini.
Ana pun akhirnya melihat ke arah ku. Bukan warna merah merona yang keluar dari wajah Ana. Padahal biasanya, dengan satu ucapan sayang saja wajah Ana berubah jadi merah. Tapi yang terlihat, ekspresi wajah heran dengan alis yang naik ke atas dan mulut yang sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu.
Karena detak jantungku berdebar makin kencang, akhirnya aku lepas tangan Ana. Aku tidak sanggup menahan rasa yang baru aku rasakan selama hidup ku. Bagaimana tidak, selama SMP dan SMA hanya ada di dalam rumah. Tidak mengenal lawan jenis yang seusia dengan aku.
Ana masih terdiam di tempat dia berdiri, seperti orang yang siap-siap untuk menghadapi sesuatu yang terduga. Kalau aku melihat tingkah laku Ana, aku yakin Ana pasti tahu tentang penyakitku. “Dasar Andre ya, suruh dirahasiakan tapi masih juga Ana diberitahu,” gerutuku dalam hati.
Aku baru tersadar satu hal, kenapa aku belum pingsan ya. Padahal, lumayan lama aku memegang tangan Ana tadi. Kemudian aku perhatikan tanganku, tidak terlihat ruam merah di sana. Tidak ada reaksi apa-apa.
“Apakah benar tidak ada reaksi apa-apa?” gumamku dalam hati.
Lalu dengan ragu, akhirnya aku memberanikan diri untuk memegang pipi Ana yang masih terlihat tegang. Ana pun memegang tanganku yang menempel di pipinya. Bukan untuk menepis tanganku, tapi tangannya memegang erat tanganku. Hangatnya tangan Ana meningkatkan rasa penasaranku untuk melakukan yang lain, yang sudah lama aku pendam. Aku mulai memberanikan diri untuk mendekati wajah Ana. Kuletakkan tanganku di pinggang Ana, dan menariknya hingga tidak ada lagi jarak di antara kita. Wajah kami sekarang hanya berjarak lima senti, jarak yang pas untuk mencium bibir Ana yang mungil dan merah merona.
“hmmmm…. Wangi banget ya bau kue bikinan Ana,” kata Rian yang tiba-tiba membuka pintu dan masuk ke dapur tempat kami berada.
“Hai, Bro. Ngapain lu cuma duduk di sini aja sih! Tumben enggak ikut main basket sama kita kita. Kurang seru enggak ada lu,” Kata Dika sambil memukul ringan bahuku.
“Iya, dari kemarin kayaknya lagi enggak semangat banget sih?” timpal Roy yang menarik bangku di sampingku dan duduk santai di sana.