El Wisnu

Ismahayati
Chapter #9

Tien oh Tien

Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan study-ku. Padahal, hanya tinggal menyusun skripsi. Sayang memang, selama tiga tahun lebih berjuang tetapi pergi meninggalkannya begitu saja. Namun, yang namanya ilmu tidak ada yang percuma. Biarlah tidak dapat ijazah, tetapi tetap dapat ilmu yang pasti bermanfaat nanti dalam hidupku.

Tetapi, kalau hati yang sudah ditata selama tiga tahun dan sekarang harus ditinggalkan begitu saja, yang ditinggalkan hanya sakit. Ilmu yang dicari masih berbekas ilmu, tetapi perasaan sakit di hati karena persahaban dan sayang selama tiga tahun, hanya berbekas sakit dan sulit untuk disembuhkan. Semoga di sini, aku bisa menemukan obat untuk penyakit hatiku.

Barcelona, tempat aku terdampar saat ini. Cuaca di sini sedang sangat panas panasnya. Membuat aku, tidak mau meninggalkan tempat yang paling nyaman saat ini. Berendam di kolam renang pribadi. Arsitek rumah Ayah yang ada di Barcelona, membangun kolam renang ada di dalam ruangan. Ruangannya juga terpisah dengan rumah induk, ada sebuah taman yang luas dan terawat, antara rumah induk dengan ruangan yang terdapat kolam renang. Dan di ruangan ini, juga terdapat beberapa alat untuk olahraga lainnya. Sebuah jalan juga membelah cantik, di tengah-tengah taman penghubung rumah induk dengan ruangan yang saat ini aku berada.

Sejak jam sembilan, aku sudah berada di sini. Tetapi, membuat aku enggan untuk beranjak. Ruangan yang dirancang untuk kondisi panas, membuat rasa nyaman berada di sini. Walaupun, tidak dipasang AC tetapi tetap terasa sejuk. Air kolamnya pun bisa diatur suhunya, bisa menjadi air hangat dan bisa berubah menjadi air sejuk seperti sekarang. Ruangannya juga hampir seluruhnya dikelilingi oleh jendela jendela yang besar, sehingga sirkulasi udara sangat baik.

Semalam, aku dan Ayah sampai di sini. Sebelum pergi, Ayah mengatakan ada yang akan diberitahu padaku. Tetapi ayah bilang, dia tidak bisa memberitahukan aku jika kita tidak berada di sini. Aku termasuk orang yang enggan berada di negeri orang. Selain tubuhku kurang cocok dengan cuaca di luar Indonesia, lidahku juga termasuk pemilih makanan. Sulit rasanya, menerima rasa yang bukan makanan Indonesia. Bukannya tidak bisa makan, hanya tidak terbiasa dengan rasanya.

Aku hanya seorang diri sekarang. Pagi tadi sejak terbangun dari tidur, aku sudah tidak menemui Ayah. Dan salah seorang ART memberitahu bahwa ayah sudah pergi ke kantor, karena ada janji dengan kliennya. Sampai saat ini, aku masih belum tahu apa yang sebenarnya akan diberitahukan Ayah padaku. Sehingga aku harus berada di sini.

Di negara yang cukup jauh dari Ana dan Andre, sebenarnya pilihan aku sendiri. Jika selama satu tahun, aku bisa menata kembali perasaanku, mungkin aku masih bisa melanjutkan skripsiku. Tetapi, jika dalam setahun aku masih terus seperti ini. Apakah aku akan menetap di sini selamanya. Di sini negara asalnya Messi, pemain sepak bola yang menjadi salah satu pemain favoritku. Tidak ada alasan untuk aku pergi dari sini. Jika masalah makanan, lambat laun akan terbiasa juga sama makanan di sini.

Jari jari tanganku sudah mulai mengerut karena terlalu lama berendam. Aku juga masih bingung, apa yang akan aku kerjakan selanjutnya. Ingin keluar rumah juga masih ragu, karena ini pertama kalinya aku berada di sini. Andai saja, ada teman di sini akan lebih menyenangkan.

“Kenapa harus mengingat teman lagi,” kataku geram sambil memasukan kepalaku secara kasar ke dalam air.

“Byuarrr…. “ terdengar suara seseorang masuk ke dalam kolam renang. Aku pun melihat dari dalam air ada yang datang ke arahku.

“Kakak…. “ teriak orang itu saat sampai di dekatku dan langsung memelukku.

Seorang yang tidak aku kenal, tiba tiba datang dan memelukku. Dan dia memanggilku kakak. Rambutnya pirang dan model rambutnya sama seperti aku. Dilihat sekilas, usianya sekitar 17 tahun. Dia masih berpakaian lengkap, saat dia masuk ke dalam air. Dia masih menggunakan kaos berwarna hitam dan juga celana tanggung, tidak panjang tidak juga pendek.

“Kamu siapa?” tanya ku mencoba melepas pelukannya.

“Aku alex Kak, Adiknya Kak Wisnu,” jelasnya.

“Aku kangen banget sama Kakak. Udah lama aku minta Ayah bawa Kakak ke sini, tapi Ayah selalu bilang enggak sempat,” katanya lagi.

Aku masih bingung, mengapa dia terus memanggil aku Kakak. Mungkin Ayah mengangkat anak di sini, karena jika di lihat dari usianya hanya beda tujuh tahun dengan usiaku. Tidak mungkin ayah menikah saat aku berusia enam atau tujuh tahun, karena saat itu mama masih hidup. Walaupun sebagian ingatanku saat itu ada beberapa yang hilang.

“Bahasa Indonesia kamu lancar?” tanyaku penasaran.

Dilihat dari gaya bocah ini, dia sudah lama tinggal di sini. Penampilannya terlihat seperti pemain sepak bola. Tetapi bahasa Indonesianya cukup lancar untuk orang yang sudah lama tinggal di sini.

“Bunda membiasakan kami di rumah tetap menggunakan bahasa Indonesia. Walaupun, di luar rumah kami berbahasa Spayol. Kata bunda biar tidak lupa dengan tanah air,” jelas bocah ini.

Lihat selengkapnya