SYIFA

Wiwik Kartika Sari
Chapter #1

SEBUAH IMPIAN

Kehidupan bagaikan bianglala. Kadangkala harus di posisi atas dan kadangkala di posisi bawah. Semua sudah diatur oleh sang maha pencipta. Skenario kehidupan yang sudah dituliskan tidak bisa dihindarkan. Kehidupan dihadapi dengan merangkak atau berlari sudah menjadi pilihan. Manusia sebagai lakon hanya bisa menjalankan sebaik-baiknya. Usaha dan do’a adalah kunci dari segalanya.

Langit membentang seakan menantang. Sinar mentari menyapa di balik cendela kamar. Nyanyian burung pun memberi irama. Meyakinkan diri bahwa sebuah impian harus diwujudkan. Impian dicipta tanpa membedakan kasta !

Deretan kertas berbentuk persegi memenuhi muka pintu kamar. Bertuliskan resolusi yang harus dicapai. Tempelan-tempelan tulisan yang terpampang di muka pintu kamar bermaksud sebagai cambuk semangat disaat diri mulai putus asa. Sebagai pengingat disaat diri melenceng dari alur cita-cita yang sudah direncanakan.

Namaku Syifa, aku dilahirkan dan dibesarkan di kota yang terkenal dengan patung bandeng dan lele di ruas jalan, Lamongan. Aku bukan anak keturunan bangsawan atau anak dari sepasang orang tua kantoran. Aku dilahirkan dari sepasang orang tua yang berprofesi biasa namun mulia. Ayahku seorang tukang becak dan ibuku seorang penjahit rumahan. Namun, itu tidak membuat semangatku menciut. Bukankah setiap orang berhak bermimpi? 

Sejak duduk di bangku SD, aku selalu menuliskan impian-impian di pintu kamar. Tulisan-tulisan yang menempel di muka pintu kamarku sedikit demi sedikit terwujud. Sebab, setiap akan keluar kamar, bola mataku melihat tulisan-tulisan berjuta impian itu, bibirku langsung mengucap shalawat sebanyak tiga kali. Bukan ada maksud apa-apa, hanya untuk menambah semangat diriku dalam meraih mimpi. Tulisan yang tertempel dalam deretan terakhirku yaitu “MENJADI SEORANG PENULIS PUISI”. Impian itu sudah tertancap di hati sejak lama. Aku bahagia, sebentar lagi impianku akan terwujud.

Waktu luang kuhabiskan untuk merangkai kata. Mulanya, aku menyukai dunia kepenulisan sejak SD. Aku sudah membiasakan diri menulis di buku diary. Bagiku, sangat disayangkan jika setiap hari dengan berbeda-beda momen harus terbuang begitu saja tanpa dituangkan di atas kertas putih. Entah sudah berapa curhatan dan karya puisi hasil tanganku yang sudah kutulis.

Sejak SMP hingga SMA, aku sudah menjadi pengurus pustakawan. Maklum jika penjaga perpustakaan akrab denganku, karena wajahku sering muncul di perpustakaan. Menulis dan membaca adalah kegiatan yang menyenangkan. Tidak heran jika perpustakaan menjadi tempat favoritku di sekolah. Aku bisa melahap segala genre buku bacaan dengan senang hati dan menuangkan segala isi kepala di atas kertas putih dengan tenang. Jika setangkai pena dan selembar kertas telah menyatu, akan menjelma sebuah tulisan yang menyentuh jiwa. 

Masih membekas dalam ingatan. Kemarin, aku baru saja melangsungkan wisuda. Menamatkan belajar di bangku sekolah menengah atas (SMA) dengan nilai yang cukup memuaskan. Namaku dipanggil menjadi siswa terbaik. Pohon-pohan rindang ikut bahagia atas apa yang telah kurasakan saat itu. Tepuk tangan yang meriah dan ucapan selamat terlontar dari teman-teman dan para guru. Ibu dan diriku dipanggil kedepan untuk menerima penghargaan dari sekolah. Disaksikan oleh orang-orang yang berada di acara wisudah di hadapan kita. Sebenarnya ini bukan pertama kali aku dipanggil sebagai siswa terbaik. Ini adalah ke-tiga kalinya setelah menjadi siswa terbaik di SD dan SMP. Menjadi siswa terbaik itu hanyalah bonus, semua berkat do’a yang tidak henti-hentinya dari ibuku. Tidak sengaja aku melihat bola mata ibu yang mulai berkaca-kaca, pecah menjadi tangis haru. Tidak pernah terbayangkan bahwa ibu bisa membesarkan sendiri anak perempuannya ini tanpa ditemani ayah. Semua itu adalah perjuangan yang tidak mudah. Dalam hatiku bergeming, “andai masih ada ayah.”

Lihat selengkapnya