SYIFA

Wiwik Kartika Sari
Chapter #2

WASIAT AYAH

Wanita luar biasa yang pernah kutemui adalah ibu. Ibu adalah penawar letih disaat diri dirundung masalah. Matanya memancarkan kedamaian dan kelembutan. Ibu tidak pernah memasang muka sedih, senyumnya senantiasa berkibar. Ibu tidak ingin mengundang kesedihan di hadapan anaknya. Semenjak ayah tutup usia, ibu mempunyai peran ganda. Menjadi ibu sekaligus menjadi tulang punggung keluarga. Bagaimana pun keadannya, tidak ada kata menyerah yang tertanam dalam hati ibu.

Kurang lebih sembilan tahun ibu menekuni profesi menjadi seorang penjahit. Kemampuan menjahitnya didapat secara autodidak. Meskipun hanya tamatan SD, ibu menyadari bahwa bakat menjahitnya sudah diketahui sejak SD. Dulu ketika masih SD, ibu mempunyai kebiasaan mengumpulkan kain percah, nanti diubahnya menjadi sarung bantal maupun pakaian. Tidak heran jika seusia ibu dimasa kecil sudah mandiri. Uang jajan diperoleh dari teman-teman ibu yang kerap meminta tolong untuk dijahitkan pakaian. Meski pada saat itu hanya bermodalkan jarum tangan karena belum mempunyai mesin jahit. 

Ayahku semasa hidupnya berprofesi menjadi tukang becak. Pendapatan ayah sehari-harinya tidak pasti. Ketika aku berusia delapan tahun, ekonomi keluarga sedang memburuk. Membuat hati ibu tergerak untuk membuka jasa menjahit di kampung kami. Sebelumya ayah tidak mengizinkan karena takut ibu kelelahan dan tidak bisa fokus mengurusku. Diusiaku ke-delapan tahun yang dirasa cukup besar dan bisa ditinggal menjahit, akhirnya ayah mengizinkan ibu untuk membuka jasa menjahit, dengan syarat tidak meninggalkan kewajibannya menjadi istri sekaligus ibu. Mulai saat itu ayah membelikan mesin jahit untuk ibu. 

Ibu mempunyai prinsip hidup. Seorang wanita haruslah mandiri. Kita tidak pernah tahu, kapan kondisi ekonomi sewaktu-waktu akan menguji. Disaat pendapatan ayah yang tidak pasti, ibu tetap mengsyukuri dan tidak pernah menuntut lebih pada ayah. Itulah kelebihan ibuku, nrimo ing pandum. Saling memahami kondisi masing-masing adalah bumbu berumah tangga dari ibuku. Semasa ayah masih hidup, belum pernah aku melihat ayah dan ibu bertengkar. Kalaupun ada perselisihan, salah satu dari mereka pasti ada yang mengalah. Jadi, wajar ibu merasa kehilangan setelah ditinggal ayah.

Mengingat sosok almarhum ayah, ayah berparawakan tinggi dan kurus. Wajahnya kalem, tenang dan memancarkan kasih sayang. Walau berprofesi menjadi tukang becak, ayah diam-diam mempunyai bakat terpendam. Tidak heran jika bakat menulisnya menurun pada anak perempuannya ini. Ketika menunggu datangnya penumpang, ayah suka mengisi kejenuhannya dengan menulis puisi. Sampai saat ini, bertumpuk-tumpuk tulisan puisi karya ayah masih tersimpan rapi di lemari. Tidak ada kata bosan jika membaca puisi-puisi ayah berulang kali.

Kuhampiri ibu yang sedang bergelut dengan kain-kainnya. 

Lihat selengkapnya