Cita-Cita Ayah

E. N. Mahera
Chapter #1

Pukul 11 Malam di Peron Stasiun

   Kau baru saja duduk di salah satu bangku besi yang ada di sepanjang peron saat kereta itu berhenti di depanmu. Kau duduk, meraih ponsel dari saku dan menengok jam di sana, “Belum waktunya,” batinmu. Kereta yang kau tunggu baru akan datang pukul 23.50 dan berangkat pada 23.58, sekarang baru pukul 23.01.

    Tak ada yang turun dari kereta itu, tak pula ada yang menaikinya. Sekian menit lewat, kereta itu bergerak lagi. Matamu terpaku pada salah satu pintu kereta yang belum tertutup sempurna tapi bunyi gesekan besi yang menghampar panjang di bawah sana semakin berisik. Walaupun basah, batangan rel itu pasti sedang panas digiling roda kereta.

    Hujan baru saja mengguyur kota, masih menyisa tetes gerimis di ujung kerahmu, hasil kau berlari menuju pintu stasiun. Sementara kereta bergerak, kau menyentuh kerahmu, kau melakukannya tanpa berharap kerahmu akan kering. Berisik suara gesekan besi di rel dan gelegar mesin sudah menutupi suara di sekitarmu. Kau amati bokong kereta sampai benda besar itu hilang dari jangkauan matamu.

    Tiba-tiba sunyi, tak ada kereta lagi di hadapanmu, kau menyapu pandang ke sekeliling. Dekat tengah malam, wajah stasiun ini layu. Cuma kalian enam di stasiun tengah malam ini. Sepuluh meter dari tempatmu duduk, seorang pria paruh baya sedang berdiri, memegang janggutnya dengan tangan kiri dan tangan kanannya memegang payung warna biru. Di samping pria itu, seorang wanita yang mungkin sebaya denganmu, duduk di bangku besi, menunduk, terpaku pada ponselnya. Jauh di sana, seorang pria dewasa mengenakan jaket hitam juga duduk di bangku besi sedang menatap lurus ke depan, entah apa yang ia pikirkan. Kau amati tiga orang yang berbagi peron denganmu seraya menebak pikiran tiga orang itu.

    Puas dengan mereka, matamu menyeberang ke peron sebelah, cuma ada dua orang ibu-ibu paruh baya yang sedang mengobrol. “Apa yang mereka bicarakan?” Kata hatimu ketika melihat ibu yang yang sebelah kiri menyentuh paha kanan kawan bicaranya. Sekian detik kau mengamati mereka, dua wanita itu tertawa. “Apa yang mereka tertawakan?” Kata hatimu lagi.

    Lelah bertanya-tanya isi pikiran orang sekitar, kau meraih ponsel lagi, menyentuhnya, layar menyala, 23.11. Baru sepuluh menit lewat sejak terakhir kalinya kau memastikan waktu. Seterusnya, matamu malah sibuk dengan ponselmu. Kau terus-terusan menggosok ujung ibu jarimu di atas layar ponsel, entah untuk apa, kau melihat-lihat saja apa yang tampak. Kau tahu ini tak ada gunanya tapi kau lakukan saja. Di tengah kegiatanmu, sementara kepalamu tertunduk, mata terpaku pada ponsel, dan ibu jarimu bergerak seenaknya saja. Perlahan-lahan muncul sesuatu di pikiranmu. Sesuatu yang sudah ribuan kali kau pikirkan, khayalkan, dan pertimbangkan; sesuatu yang terus-terusan mengganggumu saat kau menahbiskan diri sebagai orang dewasa, sesuatu yang kau sendiri tak tahu mengapa selalu ada dalam pikiranmu. 

    Kau tahu, sesuatu yang kau pikirkan ini menakutkan, membingungkan, sekaligus menyenangkan pada saat yang sama. Kau sering bertanya saat sendiri, “Apakah aku harus melakukannya?” Tak ada jawaban. Hatimu tak punya jawaban untuk dirimu sendiri.

    Amat sering kau berandai-andai seperti saat ini, kau membuat sebuah skenario tentang hal itu, dan kau merasa seolah-olah bahagia hanya dengan memikirkannya saja. Kadang sebaliknya, kalaupun kau tak melakukannya, kau juga mungkin akan bahagia. Namun, kau pernah menyesal, ada beberapa hal yang masih kau sayangkan tak pernah kau lakukan, dan kau takut hal itu juga ada membentuk bongkahan penyesalan baru suatu hari nanti.

    Begitu jelas penyesalan itu muncul di kepalamu, sampai-sampai kau menyesalinya lagi untuk kesekian ribu kalinya, tapi satu menit kemudian kau merasa bahagia, dan satu menit berikutnya kau menyesal lagi. Berulang terus, sampai kau sadar, malam ini, kau merasa kesepian di stasiun ini.

    Belum lama kau menangisi kesepianmu, muncul pertanyaan lagi dalam hatimu: “Apakah aku bahagia?” Dan tanpa jeda, hatimu juga yang menjawabnya, “Mungkin aku bahagia dan aku tidak kesepian malam ini. Kebahagiaan bukan materi, bukan bentuk, kau tak bisa menakarnya, kau hanya berurusan sekali-sekali dengannya.” Kata-kata ini datang dari dalam dirimu, untuk menguatkan dirimu. Sering terjadi.

    Sedang matamu sibuk dengan ponsel tapi pikiranmu malah sibuk dengan kebahagiaan dan kesepian, tiba-tiba seseorang duduk di sampingmu. Matamu lepas dari ponsel dan sejurus menatap orang itu. Pria keriput dengan rambut beruban memberi senyum untukmu. Kau membalas senyum itu. Pria ini mungkin seusia kakekmu, dan persis kakekmu, pria ini juga agak bungkuk saat duduk.

    “Ke mana, Dek?” Pria bungkuk ini menyapamu.

    Kau menyebut tempat tujuanmu.

    “O, kereta terakhir?”

    “Iya, Kek.”

    “O, berarti sesudah kereta saya. Kereta saya mungkin sebentar lagi baru tiba.” Tampaknya kakek ini suka bicara, padahal kau belum sempat bertanya ke mana tujuannya.

Lihat selengkapnya