Cita-Cita Ayah

E. N. Mahera
Chapter #2

Samudra yang Bisu

Di teras rumah sore itu, aku duduk di bangku kayu mengamati serakan dedaunan yang jatuh dari ranting pohon mangga di pekarangan rumah. Mulanya pikiranku kosong, lalu entah bagaimana aku membayangkan samudra yang birunya bukan main. Tak ada apa-apa di sana selain laut berombak dan langit yang memicingkan mata. Hening. Entah aku yang tuli atau samudra itu yang bisu, yang pasti samudra itu tenang; ketenangan yang membuat ragaku letih seketika. Nyawaku samar-samar masih dalam tubuh ketika kepalaku pelan-pelan jatuh ke dinding dan dua bola mataku menghilang, terpejam. Aku terlelap di bangku kayu teras rumah.

    Sekira puluhan menit lewat, mataku terbuka lagi perlahan-lahan. Dan wajah mama yang tampak. “Efrat! Bangun! Efrat! Bangun! Bangun! Papa mau pulang.”

    Mendengar kata ‘papa’, kesadaranku terang.

    Mama buru-buru membantuku bangun lalu berisyarat dengan telunjuknya agar aku segera ke sebelah rumah.

    Sekian detik saja, aku kembali ke teras dengan sapu lidi, berdiri di atas pekarangan, badanku bungkuk, dan segera menyapu dedaunan pohon mangga yang berserakan. Saat itu mama sudah lenyap dari teras. Pasti di dapur, memanaskan air dan menyiapkan kopi untuk suaminya.

    Lima menit sudah lewat, pekarangan depan benar-benar tampak bersih. Tapi, aku tetap berdiri di situ dan memastikan bahwa tak ada lagi selembar daun atau ranting pohon di pekarangan depan. Aku tak ingin ditinju pria itu dan melihat mama ditampar seperti minggu lalu. Pria itu benci melihat rumah jorok setelah ia seharian bekerja. “Saya ini bekerja di pelabuhan yang kotor. Kau senang saya melihat tempat kotor dua puluh empat jam? Hah!” Begitu katanya selalu.

    Yakin pekarangan depan benar-benar bersih, aku ke dapur menemui mama yang kudapati sedang membungkuk di depan tungku. Dari belakang, tampak pada lengan bagian belakang mama ada garis kebiruan. Seketika aku ingat peristiwa dua hari sebelumnya waktu papa menyambuk mama dengan ikat pinggang kulitnya gara-gara mama bangun terlambat lima menit. “Kau ini pemalas! Apa yang kau kerjakan sampai-sampai kau bangunkan saya terlambat? Hah? Sudah kukatakan, kau harus bangun jam enam pagi, siapkan kopi, lalu bangunkan saya tepat jam tujuh pagi. Sekarang jam tujuh lewat lima! Saya terlambat bekerja! Tak minum kopi pula. Perempuan bangsat!” Kata-kata ini yang membangunkanku dua hari sebelumnya. Mama dicambuk, aku ditampar karena belum keluar dari kamar setelah pria itu bangun. Memang bukan salahku, karena mama yang selalu membangunkanku setiap pagi, tapi aku terima saja ditampar pagi-pagi. Aku berangkat ke Sekolah Dasar pagi itu dengan mata bengkak karena lebih dulu menangis setelah pria itu berangkat kerja.

    Terpaku melihat garis biru di lengan belakang mama, tiba-tiba saja muncul rasa marah dan benci pada wanita itu. Dia seharusnya membawaku keluar dari rumah ini. Dia seharusnya bisa membela diri. Dia seharusnya bisa membelaku ketika aku ditinju atau ditampar oleh suaminya. Dia seharusnya tak diam saja. Saat itu, aku menyesal pernah dilahirkan dari rahimnya. Kupikir-pikir, aku belum pernah bahagia sejak dilahirkan sampai sore itu. Rumah kami hanya tempat penyiksaan untuk aku dan mama. Aku ingin lari dari rumah itu. Dan aku ingin mama pergi bersamaku. Namun, kebencian dan terkaan itu semenit saja, aku teringat bahwa aku masih bocah, dan aku sebenarnya tak membenci mama. Aku menyesal baru saja menyesal lahir dari rahim mama.

    “Efrat! Lihat jam!”

    Aku tersentak, mama sudah berdiri di depan tungku dan sedang memegang termos di dekat meja makan.

    Aku pergi ke ruang tengah melaksanakan perintah dan cepat kembali ke dapur. “Kurang sepuluh jam enam, Mama.”

    “Kau masuk kamar! Sekarang! Papa sudah di jalan pulang.”

    Tanpa menjawab, kulaksanakan perintah mama.

    Di dalam kamar, seperti biasa, aku duduk di ujung tempat tidur dan memasang telingaku benar-benar sementara mataku terpaku pada jam di atas meja belajarku.

    Tepat jam enam sore, terdengar teriakan, “Syeba! Syeba! Kopi!”

    Keringatku seketika kompak keluar dari pori-pori. Wajahku basah.

    “Syeba! Anak pemalasmu mana?” Pria itu berteriak lagi. Badanku menggigil mendengarnya. Aku sudah mandi keringat detik itu. Tak lama terdengar bunyi tamparan diikuti omelan pria itu tentang rumah yang kotor.

    Mama tak bersuara. Aku tak pernah mendengar mama bersuara melawan suaminya atau menangis setelah ditampar agar menunjukkan rasa sakitnya. Aku yang menangis di dalam kamar. Keringat memandikan tubuhku, air mata membasuh mukaku.

    Aku selamat sore itu, hanya mama yang ditampar.

    Beginilah kehidupanku dengan mama bersama pria itu.

 

    *

 

    Satu minggu kemudian, mama sakit. Setelah pria itu berangkat kerja, mama dan aku duduk minum teh, dan saat itu, kepala mama roboh ke depan membentur meja makan kayu. Kupikir saat itu mama tertidur. Tapi, setelah kusentuh tubuh mama, tubuhnya dingin sekali. Mama mati. Itu yang kupikirkan. Aku tak pergi ke Sekolah Dasar hari itu. Aku diam di meja makan bersama mama dan membayangkan samudra yang bisu dan langit yang memicingkan mata. Entah mengapa aku tak merasa sedih. Aku tak merasakan apa-apa. Sama sekali.

    Pada tengah hari, sekitar jam sebelas, tiba-tiba mama buka mata, angkat kepala dari meja, lalu menuju tungku. Kami tak bicara. Seterusnya, dalam hening aku memperhatikan mama mulai memasak. Wajahnya pucat dan bergerak dengan lunglai seolah tanpa tulang.

    Besoknya, peristiwa itu terjadi lagi. Sebelum berangkat sekolah, kami duduk berhadapan, mama tiba-tiba pingsang di atas meja makan, dan aku duduk menatapnya sampai tengah hari. Aku tahu, mama sakit. Tapi, setiap sore, setiap kali pria itu pulang, mama rela ditampar. Saat itu, aku baru merasa ada yang tak wajar.

    Aku ingat suatu hari, Jumat, sore, pria itu baru tiba di rumah, aku di kamar, dan terakhir kali kulihat mama di depan tungku.

    “Syeba! Syeba!” Teriak pria itu.

    Tak ada jawaban.

Lihat selengkapnya