Cita-Cita Ayah

E. N. Mahera
Chapter #4

Pagi di Kafe

   “Siapa yang ‘nelpon pagi-pagi ‘gini?”

    “Dia.”

    “Apa katanya?”

    “Dia ‘udah ngomong sama orang tuanya,” usai berkata, tatapannya keluar menuju kota yang sedang diguyur gerimis. Sepi sekali penampakan kota pagi ini.

    Untuk sebentar, dua orang ini membiarkan diam merajalela.

    Pagi ini baru mereka berdua yang datang sebagai pelanggan di kafe ini; ditambah dua orang pelayan kafe, ruangan ini tetap saja sepi.

    Mereka duduk berhadapan ditengahi meja bulat kafe. Di sisi dekat jendela, dia duduk membelakangi jalan yang tampak di balik kaca jendela (dia mengenakan topi warna biru, kita sebut saja yang ini si Biru). Sementara di sisi yang lain, duduk si Merah (dia memakai sweter warna merah), menghadap jalanan yang dibalut kaca jendela yang dititiki tetes gerimis pagi.

    “Kamu yakin bakal ‘nikah sama dia?” Kata Biru sambil memegang topinya.

    Merah memalingkan muka, menatap Biru sebentar lalu menuju mobil-mobil yang lewat di depan restoran. Dia mengembuskan satu napas berat. “Aku harus ‘nikah sama dia.”

    “Kenapa kamu bilang sama dia?”

    Merah mengembuskan napasnya lagi, berat dan kali ini agak panjang. “Aku hamil. Mana mungkin aku—.”

    “Aku ‘udah kasih saran, gugurin—,” Biru memotong.

    “Aku hamil. Dan ini anak aku, coba kalau ini anak kamu, apa kamu—,” Merah balas memotong.

    “Aku akan tetap gugurin anak yang nggak aku inginkan,” Biru memotong lagi.

    “Kamu gila,” Merah menggeleng.

    “Dari awal aku ‘udah bilang, jangan sama dia.”

    Merah belum berani bicara.

    “Kamu nggak pernah—.”

    “Aku paham. Tapi, kamu nggak pernah tahu rasanya punya orang tua yang selalu ‘nuntut aku ‘nikah.”

    “Kenapa kamu nggak bilang ‘aja tentang kita.”

    Merah tertawa. “Kita bahas soal ini udah berulang kali. Kamu belum puas?” Merah menggeleng. “Lagian kamu sahabat aku. Bukannya itu cukup? Dan kita bebas lakuin apa ‘aja berdua. Itu kan yang kamu mau? Kita pernah janji untuk tetap jadi sahabat apa pun yang terjadi. Nggak lebih. Aku nggak mau orang tuaku kecewa.”

    “Iya,” Biru coba meraih tangan Merah yang geletak di meja. “Tapi, kita belum coba.”

    “Kamu kenal dua orang tuaku itu,” suara Merah memelan.

    “Aku tahu, tapi kamu selalu takut. Oke. Kita sahabatan ‘udah dari SMA. Orang tua kita saling kenal, terus kenapa?”

Lihat selengkapnya