Cita-Cita Ayah

E. N. Mahera
Chapter #5

Mimah [yang Tersenyum di bawah Pohon Jambu]

Regen mencekik leher Mimah dan membenturkan bagian belakang kepala istrinya itu pada dinding kayu ruang tengah berulang kali. Mimah merasa akan mati sebentar lagi, kepalanya akan pecah, kepalanya panas karena udara kian sedikit masuk ke paru-parunya, muka suaminya mulai tampak kabur, dia merasa mati sudah dekat. Sampai belasan kali kepalanya telah terbentur, Mimah mati rasa. Mimah di antara hidup dan mati. Wajahnya basah oleh air mata tapi tak ada suara. Mimah tak tahu cara berteriak. Mimah bisu dan tuli sejak lahir. Mimah tahu cara meraung, tapi dia terus diam, dia tak mau mengusik tetangga yang sering dia repotkan.

Begitu bola hitam di mata Mimah hilang, Regen baru puas, atau mungkin baru merasa takut; ia baru mengendurkan cekikannya lalu melepaskan tangannya dari batang leher istrinya. Mimah terkulai sesaat lantas jatuh ke lantai bak benda, kepalanya terbentur lagi di tanah lalu keningnya menyentuh ujung jempol kaki kanan suaminya. Regen melihat saja istrinya terbaring di lantai, menyentil kening istrinya dengan ujung jempolnya, menjauhkan kepala istrinya dari jempolnya, ia seolah jijik kening Mimah menyentuh setitik bagian tubuhnya. Regen lalu meludah di samping kepala Mimah dan berjalang ke arah pintu. Persis di ambang pintu muka, ia berkata, “Kalau bukan karena penjara, malam ini kau mati, dasar binatang tak berguna! Bini mandul.” Selesai kalimat itu, ia meludah lagi di pekarangan dan pergi entah ke mana.

Lima menit setelah kepergian Regen, kesadaran Mimah mulai kembali. Dengan napas dan tenaga sisa yang ada padanya, Mimah berusaha agar duduk di lantai, menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu. Raganya mati rasa, hatinya sakit. Air matanya terus keluar seolah dua bola matanya baru saja disilet. Mimah ingin berteriak, tapi dia bisu dan tulis sejak lahir; Mimah ingin meraung, tapi dia tak ingin mengganggu para tetangga. Dia hanya bisa menjambak rambutnya sendiri agar rasa sakit hatinya lepas dan terus-terusan menggigit bibirnya supaya rasa sakit itu berpindah pada bibirnya.

Berisik pukulan dinding kayu rumah Mimah dan Regen sudah biasa terdengar tetangga. Mereka tahu, Regen sering memukul dinding rumahnya saat mabuk. Para tetangga juga tahu Regen pernah memukul istrinya, meski ia tak pernah mencekik dan membanting istrinya seperti binatang. Malam ini pertama kalinya Mimah.

Para tetangga pernah coba memisahkan Mimah dari Regen sebab mereka menyenangi Mimah. Dia perempuan rajin yang kadang menjadi pembantu rumah tangga bergilir untuk mereka, termasuk untuk Pak Yohan dan istri.

Keluarga Pak Yohan-lah yang paling sering berusaha memisahkan Mimah dan Regen. Pernah sekali waktu Mimah dipanggil sebagai penatu ke rumah Pak Yohan, dan hari itu Mimah datang dengan mata kiri hitam kebiruan setengah tertutup. Setelah Bu Yohan memaksa, Mimah akhirnya bercerita dengan bahasa isyarat yang terbatas bahwa dia baru saja ditinju suaminya. Pak Yohan, Bu Yohan, Om Pala (Kepala Desa), dan para tetangga lain sepakat lapor polisi. Regen ditangkap. Satu minggu seterusnya, Mimah menangis di kaki Bu Yohan, memohon suaminya dipulangkan. Lantaran kasihan, Om Pala pergi menjemput Regen atas desakan Bu Yohan. Beberapa bulan setelah itu, Regen bersikap baik kepada Mimah di depan para tetangga, tak pernah lagi terdengar bunyi dinding kayu yang dipukul dari rumah Mimah. Sampai malam ini, kejadian itu terjadi dan anehnya tak terdengar oleh para tetangga. Tak ada yang membantu Mimah berdiri.

Semua itu dipicu perkara sepele. Sore tadi, Bu Yohan meminta Mimah pergi ke warung orang Cina di ujung gang, dan tanpa sengaja Mimah memergoki suaminya sedang memboncengi seorang wanita muda. Mimah sudah biasa melihat Regen memboncengi wanita karena Regen mengais nafkah sebagai tukang ojek. Namun, sore tadi berbeda, melihat suaminya, jantung Mimah serasa akan lepas, bulu kuduknya kompak berdiri, gigi atas bawahnya rapat, dan rahangnya mengeras melihat tangan wanita itu melingkari perut Regen. 

Tak terus menuju warung orang Cina, Mimah malah kembali ke rumah. Duduk menghadap meja makan pincang yang usianya sebaya pernikahan mereka, sebaya rumah kayu berlantai tanah milik mereka yang sedikit lagi akan roboh, sebaya daster yang Mimah miliki, semua benda itu usianya sepuluh tahun.

Sepanjang sore, rahang Mimah membatu, isi kepalanya hanya adegan Regen dipeluk wanita muda di atas motor. Kian lama dia duduk diam dengan bayangan itu, dadanya yang panas mulai mendidih. Air matanya pun akhirnya menetes persis pada jam 7, saat di luar mulai gelap. Rasa macam itu tak pernah Mimah rasakan seumur hidupnya. Dia tak pernah cemburu. Sore tadi pertama kalinya.

Jam 8 malam lebih sedikit, Regen muncul di rumah. Begitu ia masuk, aroma alkohol langsung menyerbak memenuhi seisi rumah. Seolah istrinya tak di sana, tanpa suara, Regen terus menuju kamar. Mimah tetap duduk menghadap meja makan pincang itu yang jika ujungnya disentuh langsung goyah. Rumah mereka tanpa dapur, meja makan pincang itu ada di ruang tengah, jadi Mimah melihat suaminya datang, tapi dia diam, dia menangis dalam diam.

“Mimah, makan!” Gelegar suara Regen terdengar dari dalam kamar. Ia tahu istrinya tak mendengar teriakannya, ia hanya suka membentak istrinya.

Mimah tetap duduk, sesekali menyeka matanya dengan ujung kerah daster bututnya, tanpa suara.

“Oi, Binatang! Makan.” Suara Regen terdengar lagi. Di ujung kalimatnya ia tertawa.

“Oi, Bini Binatang!”

“Oi, Bini Binatang!”

“Oi, Bini Binatang!”

Regen mengulang-ulang kalimat yang sama dengan tawa di ujung kalimat sampai ia berdiri di belakang kursi Mimah.

“Bini sa’ (saya) ini macam binatang,” Regen mulai membikin nada pada suaranya. “Tadi sa’ ‘ngentot pacar baru,” Regen memegang bahu Mimah dan menepuknya beberapa kali, “Bini binatang ini tak tahu,” lalu tertawa lagi. Ruangan itu remang karena Mimah tak mampu membeli balon lampu yang lebih terang, karena itu Regen barangkali tak tahu istrinya sedang menangis. Ia terus menggoda istrinya, “Bini binatang ini tuli! Bini binatang, tolol! Sa’ ‘ngentot enak. Mudah-mudahan pacar sa’ itu hamil supaya sa’ bisa punya anak. Tak seperti kau yang mandul,” Regen lalu menyanyi lagi, “Bini Binatang tuli! Bini Binatang tolol! Sa’ ‘ngentot enak.”   

Mimah tak mendengar nyanyian dan ucapan suaminya, hanya bau alkohol itu tajam sekali menusuk hidungnya. Suaminya tetap dibelakangi, sesekali dia masih menyeka wajahnya, sampai suaminya mendekat ke sampingnya, dan mulai menggoyang-goyangkan pinggul, joget mabuk, sementara mulutnya tetap bersenandung, “Bini tuli, bini bisu, bini tuli, bini bisu.”

Ketika sadar suaminya sedang gembira di sampingnya, Mimah membiarkannya, tiga menit lewat, Mimah tiba-tiba bangkit dan memukul dada suaminya dengan dua kepalan tangannya. Regen terhempas dua langkah ke belakang dan sorot matanya meruncing, nyanyiannya berhenti, pinggulnya keras, seturut rahang dan wajahnya.

“Bini, Babi! Mandul!” Regen mendekati Mimah, mencekik lehernya, menyadarkan tubuh istrinya ke dinding kayu, dan mulai membenturkan kepalanya ke dinding itu. Seterusnya adalah penganiayaan yang terjadi malam ini.

 

*

Lihat selengkapnya