Cita-Cita Ayah

E. N. Mahera
Chapter #6

Nanti Urusan Nanti

30 tahun Lalu

“Apakah kau siap gagal?”

“Siap.”

“Apa yang akan kau lakukan andaikata kau gagal?”

“Saya akan pulang dan berusaha lagi untuk seleksi tahun depan,” kata bocah itu penuh semangat.

“Maksud saya bukan kau gagal seleksi hari ini. Bagaimana kalau kau gagal nanti? Suatu hari nanti. Bagaimana jika kau tak pernah berhasil?”

“Nanti urusan nanti,” kata bocah 18 tahun itu kepada pria paruh baya di hadapannya.

Pria tua itu tersenyum sinis lalu memegang kepala bocah itu. “Nanti urusan nanti.” Ia meniru kata-kata si bocah, nadanya pun persis. “Tapi nanti akan menjadi kini. Dan ketika nanti telah menjadi kini, dan kau tak punya lagi nanti yang lain, apa yang akan kau lakukan andaikata nantimu itu ternyata berbeda dengan yang kau nantikan?”

    Bocah tanpa pengalaman itu diam. Tak mengerti.

    “Sudahlah. Lakukan saja yang terbaik.” Ia tersenyum. “Nanti urusan nanti.” Senyumnya semakin lebar, tapi kali itu senyuman pria paruh baya itu seolah mengejek lawan bicaranya yang masih remaja.

 

*

 

    Tahun ini

    Bocah 15 tahun, bernomor punggung 19 itu menggiring bola di sisi kanan lapangan melewati 3 orang kemudian menyentuh bola itu dengan punggung kaki kiri bagian luar, mengontrol bola, sekian detik, satu sepakan bagian dalam kaki kirinya membuat kulit bundar melesat kencang ke tiang jauh, dan gol!

    Para penonton, termasuk para orang tua yang menyaksikan seleksi anak mereka kemudian bertepuk tangan, beberapa menggelengkan kepala, seorang pria berkumis bahkan melompat-lompat girang seolah bocah pencetak gol itu anak kandungnya.

    Sementara semua orang bergembira, di sisi lapangan dekat tiang tendangan pojok seorang pria tetap tenang; tangannya terkunci di belakang, wajahnya sedatar tembok, tatapannya kosong. Pria itu adalah ayah si bocah ajaib bernomor punggung 19 yang telah mencetak 5 gol dalam pertandingan sore ini.

    Gelagat pria itu hampir-hampir tak berubah sampai peluit panjang dibunyikan oleh pelatih sekaligus penyeleksi merangkap wasit, tanda pertandingan dalam rangka seleksi sore ini telah berakhir. Dengan tangan tetap terkunci, pria itu serius menatap putra semata wayangnya yang disalami oleh rekan-rekan satu timnya. Mata bocah-bocah itu menaruh kekaguman kepada pemilik nomor punggung 19. Ia adalah bintang dalam seleksi sore ini.

    Para bocah yang berusia 15-17 tahun itu lalu membentuk sebuah lingkaran besar di tengah lapangan, dan pelatih merangkap wasit itu berdiri di tengah lingkaran. Sekian belas menit lewat, lingkaran itu pecah, dan para bocah kemudian berjalan ke arah orang tua mereka masing-masing, beberapa dipeluk, beberapa dicium; kebanggaan jelas sekali pada wajah para orang tua. Anak-anak mereka sampai di pertandingan sore ini adalah prestasi besar, sebab sebelumnya mereka telah diseleksi di tingkat kecamatan, lalu kabupaten, dan akhirnya sampai di seleksi tingkat provinsi sore ini. Bocah-bocah ini telah berhasil menyingkirkan ribuan bocah lain untuk pertandingan sore ini.

    Yurgen, 16 tahun, nomor punggung 19, berjalan menuju tiang tendangan pojok dengan senyuman yang terus-terusan membinar di atas wajahnya, sesekali ia menyeka keringat di wajahnya dengan ujung lengan bajunya. Wajah ayahnya tetap seperti tembok. Saat tinggal beberapa langkah lagi mereka berhadapan, sang ayah balik badan dan mulai berjalan. Yurgen mempercepat langkahnya untuk berjalan di samping ayahnya. Di pintu keluar stadion, beberapa orang menyapa Yurgen dengan kata puja-puji, Yurgen membalasnya dengan senyuman; beberapa mengulurkan tangan, Yurgen menyalami mereka. Yurgen ingin berhenti sejanak untuk bercakap-cakap dengan orang-orang itu, tapi ayahnya berjalan terus. Yurgen tak punya pilihan, kapal mereka akan berangkat sekitar pukul 8 malam, dan sekarang sudah pukul 6. Yurgen paham sikap Ayahnya.

    Mereka berjalan kaki bersisian—hampir-hampir tanpa bicara—dari stadion tempat seleksi ke pelabuhan yang jaraknya 3 km. Ayahnya cuma buka mulut ketika mereka berjalan melintasi terminal yang ramai. “Nanti mandi dan ganti pakaian di kamar mandi pelabuhan saja.” Yurgen tak menjawab, ia paham watak ayahnya.

    Di kamar mandi pelabuhan yang sempit, bau pesing, dan remang, Yurgen mengguyur badannya dengan air seraya senyuman terus membinar di atas bibirnya. Ia mengulang setiap kejadian di lapangan tadi, peluit wasit, sorak penonton, ucapan kawan satu timnya, serta puja-puji untuknya seolah-olah menjadi lagu yang berdendang di telinganya. Ia bahagia sekali. Dan ia yakin akan terpilih mewakili provinsinya untuk seleksi nasional timnas usia muda beberapa bulan mendatang. Ia yakin. Tadi, setiap kali mencetak gol, ia selalu memandang wajah pelatih sekaligus wasit, dan pria itu selalu tersenyum. Lima gol, lima kali pria itu tersenyum. Yurgen juga percaya diri karena seleksi teknik dasar dan taktikal pun ia melampaui kawan-kawannya.

    Yurgen yakin, ia akan pergi ke ibu kota lalu ke luar negeri untuk membela negara. Ia tak ingin mengecewakan ayahnya yang sudah menjual kebun kelapa warisan untuk seleksi hari ini.

    Senyum Yurgen sempat pudar ketika mengingat kebun kelapa itu. Ia ingat ketika ayah dan ibunya bertengkar karena keputusan ayahnya. Kebun kelapa itu satu-satunya sumber nafkah mereka. Tanpa itu, mereka akan makan tanpa lauk sampai entah kapan. Yurgen sendiri sempat kaget dengan keputusan ayahnya. Dulu ia pikir ayahnya tak mendukung cita-citanya, sebab ayahnya tak pernah membicarakan sepak bola dengannya dan tak sekali pun berdiri di pinggir lapangan saat Yurgen bertanding di kecamatan, padahal Yurgen mendengar cerita-cerita dari orang kampung bahwa ayahnya dulu adalah seorang pesepak bola ulung di kampung. Ia bahkan sempat pergi ikut seleksi nasional, malangnya, ada saja tingkah takdir, suatu hari tempurung lututnya bergeser, dan segalanya berakhir untuk ayah Yurgen. Dan karena cerita-cerita itu, diam-diam Yurgen mengagumi ayahnya meski ia tak pernah melihat ayahnya bermain sepak bola.

    Sampai ia habis mandi, tak ada senyum lagi di atas bibir Yurgen, Rasa takut gagal memudarkan puja-puji, sorak penonton, dan senyum pelatih tadi. Keyakinan dan bayangan indah cita-citanya pun ciut dengan sendirinya. Di kamar mandi sempit, bau pesing, dan remang, Yurgen telah takut mengecewakan ayahnya.

    

*

 

    Di atas kapal.

    Yurgen dan ayahnya bersisian, siku tangan keduanya bertopang pada pagar pembatas kapal, tatapan keduanya terpahat pada pelabuhan yang perlahan menjauh sementara kapal maju perlahan-lahan. Mereka diam seperti biasanya. Belum ada kata-kata sejak di depan terminal tadi.

    Kegagalan masih menghantui Yurgen. Sesekali ia menatap ayahnya yang kini telah menunduk, tatapan pria penuh pengalaman itu telah berpindah pada hamparan laut hitam di bawah sana, laut pekat berkilauan sebab tumpahan minyak di atasnya. Laut itu bergelombang, ombak-ombak sedang memecahkan diri di sana-sini, tapi suaranya tak terdengar, suara mesin dan manusia yang menyemarkan laut malam ini. Bocah kecil di kanan Yurgen sedang menangis, dua orang pria di belakang Yurgen sedang mengobrol dengan teriakan, dan seorang wanita paruh baya di kiri Yurgen sedang berteriak sembari melambai-lambaikan tangannya kepada yang tersayang di pelabuhan. Berisik sekali di atas kapal yang baru saja berangkat. Kurang lebih 12 jam lagi kapal ini akan tiba di kabupaten, lalu Yurgen dan ayahnya akan berkendara dengan motor selama 6 jam lagi untuk sampai di kampung mereka di pedalaman.

 

*

Lihat selengkapnya