Nama lahir ia Satria, tapi ia suka dipanggil orang s’bagai Ria. Ya, ia pengen amat jadi wanita. Semenjak bocah, gemulainya lawan-lawan wanita dan mukanya ia rawat bahkan poles sedemikian rupa supaya manis bak gula.
Pas tumbuh rambut-rambut dalam celana, Satria mulai tanya-tanya diri, “Saya ini pria atau wanita?” Sebab alat kencingnya konti, tapi berahi buat wanita rasa-rasanya sirna, entah sungkan ada semenjak bocah, entah semenjak jadi manusia, entah belum jatuh tempo dewasa.
Dan dewasa kini, tanya-tanya diri sendiri belum jua punya jawab. Kepala Satria pening ulang-ulang. Tiada juga ia terka sejak mula hidup bakal gini-gini amat. Ia pengen punya rasa entot wanita, ia pengen punya bocah; tambah-tambah, ia pengen rasa cinta macam orang-orang yang tengah-tengah hidupnya bikin keluarga. Tapi apa daya, setitik berahi buat wanita pun sungkan ada, apalagi harap cinta. Ya, akhir-akhirnya ia sedikit yakin bahwa rasa itu sungkan ada, bukan musnah. Tiada sekali pernah gundukan dada dan selangkangan wanita bikin ia pengen wanita sampai pening isi kepala.
Sempat-sempat, ia baca-baca dari lama segala ilmu yang bicara tentang ‘hilang rasa pada wanita’ agar bisa ia tahu musababnya, lewat ilmu-ilmu yang kata istilahnya ia pahami terbata-bata, ia sedikit paham nasib manusia macamnya; ada ilmu-ilmu orang pintar bilang manusia jantan nir-rasa pada betina adalah lumrah, sebab itu kejadian semenjak kandungan mama, bukan salah si manusia. Tapi ada ilmu-ilmu orang pintar bilang nir-rasa manusia jantan pada manusia betina dibikin-bikin, barangkali trauma bocah atau pengaruh sebaya.
Ia bingung, mana pula harus dipercaya ilmu-ilmu itu? Duh, ilmu-ilmu malah bikin kepala Satria makin sakit saja. Kata hatinya ulang-ulang, “Ilmu-ilmu kini beda ilmu-ilmu dulu,” pikirnya, “Orang pintar kini suka-suka, bikin ilmu jadi senjata, manusia mau apa, ilmu bilang itu. Bagus memang, nasib orang-orang macam ia punya bahan pembelaan, tapi ilmu-ilmu jadinya macam lonte saja.”
Tambah-tambah, kepala rasa-rasanya bakal pecah sedetik lagi bila ingat-ingat soal Tuhan, soalnya ia punya sedikit-sedikit iman, jadinya batin kadung dipilin rasa salah pada agama saban-saban. Ia pengen jadi manusia jantan umum, tapi lagi-lagi, apa daya cuma jadi manusia biasa, hasrat pengen konti laki, tapi agama bilang harus dada wanita. Ia pun suka tanya-tanya dalam dada, “O, Tuhan, mana jawab bisa saya percaya?”
Bingung-bingung ini bukan tiada sebab; beda dirinya ini bikin banyak sudah kejadian derita dalam pendek hidup Satria.
Pas bocah, belum banyak terasa derita itu, di rumah mama sayang-sayang saja, apa rasa ingin, mama taruh di muka. Di luar rumah, senang-senang saja dengan banyak kawan baik yang umumnya wanita. Satria mahir betul main-main boneka dengan kawan-kawan wanita sebaya. Tapi pas remaja, tempo mama balik surga, dan ia patut hidup dua-dua sama papa jahat, yang lakukan Satria bak anak buangan orang.
Papanya suka pukul hari-hari, kata salah, bibir pecah; tingkah salah, bengkak mata. Sekali pernah, ia cuma lupa pulang mandi sore, tapi papa pukul ia macam binatang. Ditampar rupa bantal jemur lantas diinjak-injak rupa puntung sigaret. Sudah begitu, derita rumah makin-makin, makan susah, rumah ada-adanya, dan papa pun mabuk hari-hari. Sedih.
Tambah-tambah, pas remaja, banyak kawan laki sapa ia ‘Si Banci’, tiada saja soal gemulainya yang lawan-lawan wanita, tapi pun cara bicara sampai baju-baju sesak ikat badan ia, juga geraknya yang lamban bak kura-kura. Lagipula ia suka ikut-ikutan kawan-kawan wanita ke sana-sini. Demikian hasilnya kini, sedikit saja kawan pria yang ia punya.
Banyak jadi, itu bikin ia suka nangis sendiri-sendiri dalam gelap-pengap kamar.
Dalam dada, Satria pengen ikut-ikutan main bola kaki sama kawan laki di lapang tanah. Tapi sedikit saja kawan laki yang mau terima ia. Dekat sedikit saja, kawan laki pasti omong, “Kenapa pula dekat-dekat kami kau ini? Mau jadikan kami ini banci, kah?”
Satria sering jawab, “Tidak. Saya pengen main-main saja sama-sama kalian-kalian.”
“Tak kekurangan orang kami. Tiada butuh kau kami. Jauh-jauh! Tak pengen kami jadi banci macam kau!” Biasanya begitu kawan-kawan laki omong ke ia.
Tiada di kata-kata saja sikap jahat kawan-kawan. Saban-saban, ada saja jahat mereka. Pas SMP, ada kawan taruh berak sapi di dalam tas sekolah ia, sampai-sampai harus Satria buang tas yang dulu mama beli di pasar hasil tabung tahun-tahun. Lalu ada kawan lain yang sampai tinju-tinju muka Satria hanya karena benci lihat Satria gerak gemulai amat. Habis tinju, kawan itu omong lagi, “Aku benci kau, Banci!”
Tiada henti di kawan-kawan saja derita Satria. Pas mau dewasa, ada pula orang dekat rumah yang omong lantas Satria dengar sembunyi-sembunyi, “Ayah-ibu Satria itu dikutuk moyang hingga bocahnya bisa jadi banci.” Sakit amat dada Satria dengar itu sampai ia pengen matikan diri di belakang rumah pakai tali ikat sapi.
Tapi untung, ada Tante Cu, adik mama yang tinggal dekat rumah. Pas Tante Cu hendak masuk dapur, tertengok dia bahwa Satria lagi ikat tali di pohon nangka belanda belakang rumah. Kaget lantas panik, Tante Cu lari cepat-cepat dekat Satria lantas marah-marah penuh air mata. Lantas Satria pun nangis-nangis sama Tante Cu.
Lewat waktu sedikit, Satria cerita semua ke Tante Cu, yang Satria sudah sayang bak mama sendiri. Lagipula Tante Cu pun bantu banyak ke ia. Makan sering ia di rumah Tante Cu. Sekolah saja Tante Cu beli semua barang-barang lengkap.
Awal-awal, malu-malu, tapi sebab ia percaya amat ke Tante Cu, ujung-ujung Satria cerita ke Tante Cu. Ia buka omong begini, “Saya, banyak orang ejek, Tante Cu.”
“Ejek apa-apa?”
“Ejek saya macam banci.”
“Benar, tiada, kau ini banci, Satria?”
“Saya bingung-bingung dari lama.”
“Jawab saja tanya saya!” Tante Cu tinggi suara.
Satria belum punya jawab, tunggu-tunggu tiada. Lama-lama, sonder kata, Satria geleng kepala.
Tante Cu buang napas panjang amat. “Kau ini banci atau tiada?” Tambah tinggi itu suara.
“Gemulai saya bak wanita. Wajar saja bila sebut orang saya ini macam banci.”
“Satria,” Omong Tante Cu, sebut nama kemenakan penuh belai, lantas buang napas ulang, panjang amat ulang. “Memang tiada elok seorang laki gemulainya bak wanita, tapi tak artinya laki gemulai pasti banci. Pantas jadi banci bukan manusia macam kau, tapi manusia tak berdikari. Orang-orang macam itu, pilih tangis kamar daripada maju bela diri.”
Dengar itu, kepala pun dada lantas mata Satria ujuk-ujuk benderang. Air mata tunda bentar. Ia pikir-pikir omong Tante Cu. Cercah harap nongol tiba-tiba buat tatap masa depan.
Lihat kemenakan banyak pikir sonder kata, Tante Cu omong ulang, “Kau sudah kasih izin orang lain masuk dalam kepala kau, bagaimana rasa-rasanya? Rasanya tiada baik, benar?”
“Benar,” pendek saja jawab Satria.
“Pas makan susah, adakah tiada bantu mereka ke kau?”
Satria geleng kepala saja.