Cita-Cita Ayah

E. N. Mahera
Chapter #8

Antara Kopi, Hati, dan Meki

Tampaknya Tina terkejut kala buka pintu muka, matanya terbelalak lihat seorang laki duduk sandar badan, lipat kaki, di ruang tengah rumah.

    “Selamat sore.” Laki itu senyum.

    “Apa hajat kau di sini?” Muka Tina ulang lagi ke bentuk tadi, kejutan lewat begitu saja usai pasti itu Antan, kekasih selangkangannya.

    “Tunggu kau balik,” bilang laki itu, pantat ia angkat, dekati Tina dan dua tangan lingkar tubuh kekasihnya.

    Tina pasrah, terima saja pelukan itu.

    Sesaat baru peluk Tina, Antan lantas remas bokong kekasihnya. Wajah Tina berganti, dia hempas tangan Antan, sejurus bola matanya bergerak cari jam dinding. “Jangan sekarang. Suamiku pulang sebentar lagi,” bilang Tina.

    “Waswaskah kau?” Si Antan lepaskan pelukan.

    Kepala Tina terangguk.

    Antan jadi gila, senyum sedetik ia pampangkan, lantas telapak tertuju pada dada Tina dan benda itu serasa bakal remuk.

    “Jangan!' Tina hempaskan lagi tangan kekasih, sudah dua kali.

    Sonder pusing apa kata kekasih, Antan renggangkan leher, julurkan bibir dekati bibir Tina yang terpolesi gincu, tangannya pergi lagi ke bokong Tina. Si Tina ulang-ulang pasrah saja.

    Habis ciuman, Antan bilang, “Ini kali bakal cepat, jangan waswas.”

    Seterusnya sofa ruang tengah basah oleh kelakuan lalu keringat dua orang itu, ikutan sedikit erang-erangan kecil, mereka sedang bikin enak tempat kencing dengan baju lengkap masih di badan.

    Kira-kira delapan atau sembilan menit lewat, erangan binatang di penghujung sudah kedengaran, Tina anjak hendak bangkit dari pangkuan kekasih. Antan larang, bilang, “Jangan bangkit dulu. Duduklah dulu sedikit!'

    “Tapi—.”

    “Tak suka aku kala kau bersikap macam ini. Kau lain sekarang. Suka bantah omonganku.”

    “Suamiku bakal pulang sedikit lagi.”

    “Lelaki itu tidak bakal pulang. Kupastikan nyawaku jaminannya. Kunci saja dulu pintu itu supaya tak ada batang hidung datang pergoki kita dua di sini!”

    “Waswas aku. Suamiku—.”

    “Jangan bantah terus-terusan omonganku! Sudah kupastikan nyawaku jaminan ketidakpulangannya. Kunci saja dulu pintunya!” Bilang Antan lantas tunjuk pintu.

    Kali itu si Tina patuh pada kekasihnya, dia pergi dekati pintu.

    “Sudah berapa lama kau di sini?”

    “Belum lama.”

    “Yakinkah kau suamiku bakal terlambat pulang ini hari?”

    “Harus berapa kali kujaminkan nyawaku agar kau percaya? Sudahlah, perkara pendek ini tak perlu kau perpanjang. Lagi pula, aku sudah kasih orang itu banyak pekerjaan lalu pelajaran ini hari.”

    “Pelajaran apa?” Bilang Tina sejurus putar kunci pintu ke kanan, bunyi batang kunci pintu kedengaran.

    “Pekerjaan yang bisa bikin dia tinggal di sana sampai larut supaya kita bisa lakukan apa saja di rumah ini,” Bilang Antan.

    “Duduklah dulu! Kawani aku di sini,” bilang Antan kepada kekasih yang hendak saja berjalan tuju dapur.

    Tina duduk ulang di samping kekasih. “Pelajaran apa yang kau kasih untuk suamiku?” Tina bilang ulang.

    “Apa sebab kau selalu sebut orang itu sebagai suamimu?”

    “Sebab ia benar-benar suamiku.”

Lihat selengkapnya