Cita-Cita Ayah

E. N. Mahera
Chapter #9

Induk Anjing

Sedang pagi menuju siang dan mereka berlima di atas sampan; si ayah (dalam bahasa daerah disebut: Bubu), si anak (dalam bahasa daerah disebut: Ilo), serta tiga ekor anjing peliharaan (satu induk, dua anak). Mereka sedang menggaris sungai dengan sampan menuju Kampung Besar. Di kiri kanan tampak hijau dedaunan pohon-pohon bermacam ukuran yang tumbuh menjulur ke sungai. Mata Ilo terpaku pada deretan pohonan itu tanpa mengamati salah satu pohon secara cermat dan lama, sesekali, apabila ada, matanya berhenti sebentar pada coklatnya batang pohon besar atau bebatuan penuh lumut yang warnanya hijau menyala. Tapi, di sebuah tikungan sungai, mata Ilo terpaku pada sebuah pohon raksasa yang tampak baru saja tumbang karena longsor. Ilo tahu longsor itu baru saja terjadi, karena jejak longsoran tebing itu masih terlihat, dan karena daun pohon raksasa yang tumbang itu masih tampak hijau segar. Ilo memperhatikan pohon raksasa itu, batangnya basah sehingga warna coklatnya tampak bersinar; anehnya, longsor yang terjadi tampaknya hanya separuh, membuat pohon raksasa itu tak jatuh ke arah sungai, tapi belok ke kanan sehingga ujung pohon raksasa itu tersangkut pada sebuah batu besar berwarna hitam, anehnya lagi badan pohon raksasa itu tidak patah. Pohon raksasa itu seolah-olah menjadi pagar agar pohon-pohon kecil di atasnya tidak ikut roboh oleh longsor. “Mungkin ia melindungi anak-anaknya. Pohon-pohon kecil itu mungkin anaknya,” pikir Ilo.

    Namun, pohon raksasa tumbang itu tak menarik perhatian Ilo terlalu lama, sebab Ilo sedang bahagia bukan main karena bisa bepergian keluar dari kampungnya. Ini pertama kalinya Ilo bisa pergi ke Kampung Besar. Ilo bisa bepergian keluar dari kampungnya karena minggu lalu ia sudah masuk Sekolah Dasar di kampungnya. Ada kepercayaan aneh di kampungnya bahwa hanya orang-orang sekolah yang boleh pergi ke Kampung Besar. Entah kepercayaan ini datang dari mana dan sejak kapan, yang pasti sejak dulu sudah begitu. Menurut angin-angin, zaman dulu pernah ada seorang bocah empat tahun yang tewas dimakan buaya sehingga para bocah dilarang untuk mendekati sungai sebelum mereka punya pikiran, dan orang yang berpikiran adalah mereka yang sudah sekolah. Kaitannya dengan Kampung Besar adalah karena untuk tiba di sana orang-orang perlu naik sampan menggaris sungai. Jadi, mereka yang belum berpikiran dilarang dekat-dekat sungai apalagi naik sampan di sungai menuju Kampung Besar.

    Kampung Besar sangat penting untuk warga di kampung Ilo sebab kampung Ilo berada di pedalaman yang hanya bisa dijangkau lewat sungai ini, sementara pasar tempat orang kampung menjual hasil kerja kerasnya serta membeli kebutuhan pokok modern ada di Kampung besar.

    Sebelum mereka berangkat tadi, Bubu sudah memperingatkan Ilo, “Jauhkan tanganmu dari sungai. Ada buaya!” Tapi Ilo bandel, sesekali ia sempat menyelupkan ujung jari telunjuknya untuk menggaris sungai yang hijau kehitaman itu. Ia berulang kali ditegur Bubu: "Awas! Nanti tanganmu putus dimakan buaya!"

    Diperingati sekian kali, telinga Ilo tetap bocor, ia tetap senyum sehabis dimarahi, dan Bubu mau tak mau juga tersenyum melihat tingkah putra semata wayangnya. Ia paham ini perjalanan pertama Ilo menggaris sungai, anaknya sedang bahagia.

    Dekat Kampung Besar, senyum Ilo makin lebar melihat rumah-rumah yang bentuknya asing sekaligus memesona. Rumah-rumah di Kampung Besar bukan lagi berdinding kayu dan atapnya bukan lagi dari anyaman daun rumbia. Ilo tak tahu apa nama dinding dan atap rumah-rumah di Kampung Besar dan ia tak terpikir untuk bertanya pada Bubu, ia terlalu senang melihat bentuk rumah asing itu, untuknya benda baru adalah pengalaman baru yang menyenangkan. Dua ekor anjing kecil yang ada di atas sampan juga bertindak gelisah, mereka melompat-lompat seolah sedang menari kegirangan, mungkin karena ini juga pertama kalinya mereka sampai di Kampung Besar; sementara induk anjing bersikap sama dengan Bubu, induk anjing ini sudah terbiasa datang ke Kampung Besar menemani tuannya.

    “Tinggalkan saja anjing-anjing kecil itu di situ, Ilo,” kata Bubu sambil terus mengikat tali sampan pada sebatang pohon.

    “Nanti mereka lari, Bubu.”

    “Ya sudah, bawa saja, tapi jangan sampai mereka hilang.”

    Ilo tersenyum lalu menggendong dua anak anjing itu dan melangkah keluar dari sampan dengan sangat hati-hati, Ilo takut tercebur ke dalam sungai, sekarang ia baru takut buaya.

    Bubu dan Ilo—yang menggendong dua anak anjing kecil—berjalan bersisian sedang induk anjing mengekor di belakang mereka.

    “Kita ke pasar sekarang, kah, Bubu?”

    "Tidak. Kita antar dulu si Torky," kata Bubu seraya menengok ke belakang kepada Torky, si induk anjing itu.

    "Antar ke mana, Bubu?"

    "Ke tempat jagal anjing."

    "Haruskah si Torky dijagal sekarang?" Ilo menatap induk anjing di belakang mereka.

    "Sudah waktunya, Ilo."

    Ilo tak menjawab lagi. Ada perasaan senang bahwa mereka akan pergi ke tempat jagal anjing, sudah lama Ilo penasaran dengan tempat itu. Beberapa kawan yang masuk Sekolah Dasar lebih dulu pernah bercerita kepadanya tentang tempat itu. Katanya ada banyak anjing di tempat jagal, bermacam warna, bermacam ukuran, ramai dan berisik sekali.

Lihat selengkapnya