SINGKAT CERITA: SEORANG anak perempuan sejak kecil terbiasa melihat ibunya membawa laki-laki lain ke rumah. Ayahnya tahu kelakuan istrinya, ia tak bisa berbuat apa-apa, karena ia lumpuh. Ia selalu menangis di kamar bersama putrinya setiap malam. Tapi, suatu hari suaminya tak tahan lagi dan ia bunuh diri. Hidup anak itu dan ibunya berlanjut, sampai saat dewasa, anak itu pergi dari rumah untuk merantau, di tanah rantau dia menjadi pelacur. Bertahun-tahun kemudian, ibunya sakit, dia terpaksa pulang lagi, dan giliran si anak yang gonta-ganti membawa laki-laki ke rumah ibunya. Ibunya yang tukang selingkuh itu kini sudah tua dan mungkin karena selangkangannya sudah berjamur, dia bertobat. Ibunya benci melihat kelakuan anak perempuannya, dan mereka terus bertengkar selama dia tinggal di rumah ibunya. Dia tak ingin pergi dari rumah karena dia ingin ibunya melihat kelakuannya, dia menikmati pertengkaran itu. Dia senang melihat wajah ibunya yang keras ketika laki-laki asing masuk ke kamar bersamanya. Dia ingin membuat ibunya menderita demi balas dendam untuk ayahnya. Suatu malam, mereka bertengkar hebat. Ibunya terus-terusan menangis, tapi anak perempuan yang telah tumbuh menjadi wanita dewasa itu terus tertawa. Ibunya berkata, “Kau pelacur sialan! Aku ini perempuan, dan hanya perempuan tanpa harga diri yang jadi pelacur. Ayahmu akan bilang apa kalau melihatmu seperti ini?” Ucapan ibunya membuat mata anak itu berkaca-kaca, “Kau jijik padaku, Ibu? Hah? Kau anggap aku binatang? Hah? Kamu tak lebih baik dariku, Ibu. Perasaanmu malam ini padaku adalah perasaan ayah dan aku selama bertahun-tahun. Kami jijik melihat kelakuanmu. Asal kau tahu, aku seorang pelacur, tapi aku lebih baik darimu. Derajat perempuan sundal lebih tinggi daripada seorang istri yang menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki lain. Aku belum menikah, dan aku tidak akan menikah sampai kau mati. Aku ingin jadi pelacur sampai kau mati! Aku ingin kau melihat hasil perbuatanmu dulu. Ini hasilnya. Ini hasilnya, Ibu. Ini hasilnya. Aku sekarang adalah hasil perbuatanmu dulu.” Usai anak itu bicara, air matanya tumpah seketika, air mata yang sudah dia tahan sejak kematian ayahnya. Esok paginya, anak itu bunuh diri di kamar masa kecilnya. Bunyi catatan bunuh diri yang dia tinggalkan: aku merindukan ayah. Aku tak ingin ayah menangis sendiri di surga. Saat ayah menangis karena ibu, aku selalu di samping ayah.