Cita-Cita Ayah

E. N. Mahera
Chapter #11

Cita-Cita Ayah

SETELAH ENGKU DEN sang Kepala Sekolah bicara panjang lebar, saya serasa ditinju sedemikian kerasnya sampai-sampai saya hampir saja pingsan, rasa-rasanya saya akan tersungkur jatuh dari kursi. Saya terkejut bukan main dan mata saya langsung berair. Saya ingin menangis, tapi saya menggigit lidah sekuat-kuatnya agar saya tak menangis di depan Engku Den.

Sejenak lalu, saya mengangkat kepala, menatap langit-langit supaya genangan air di mata saya tak tumpah.

Barangkali paham dengan perasaan saya atau mungkin mengasihani saya, Engku Den berdiri, beranjak ke samping saya dan memegang pundak saya, lalu berkata, “Maafkan saya. Saya sudah berusaha agar Anda bisa tetap mengajar di sini tapi kami tak punya dana lagi untuk bisa membayar guru honorer. Anda tahu kondisi sekolah ini, bupati menghentikan segala bantuan ke kampung ini karena pemilihan lalu dia cuma dapat 19 suara di sini.”

Saya menjawab perkataan Engku Den dengan anggukan lalu menutup mata.

Tangan Engku Den tetap di pundak saya dan perlahan-lahan mulai mengelusnya. “Anda guru yang baik. Ayah Anda pasti bangga.”

Saya mengangguk lagi untuk menjawab kata-kata Engku Den. Namun, hati kecil saya berkata lain: saya merasa Ayah saya belum sempat bangga pada saya. Hati kecil saya juga berharap, agar yang berdiri di samping saya sekarang, memegang pundak dan menguatkan saya adalah ayah. Sayangnya, Kepala Sekolah yang sekarang berdiri di samping saya bukan lagi ayah saya. Sudah sejak belasan tahun lalu ayah saya melepas jabatannya sebagai Kepala Sekolah di SD ini.

Beberapa menit kemudian, meski saya masih merasa tanpa tenaga, saya berusaha sekuatnya agar bangkit dari kursi, lalu sempat sejenak menatap ke sekeliling ruangan yang dulu milik ayah sambil menarik satu napas panjang, dan saya tersenyum. “Terima kasih,” kata saya menjulurkan tangan kepada Kepala Sekolah yang berdiri di hadapan saya, Kepala Sekolah yang bukan lagi ayah saya.

“Terima kasih. Terima kasih,” kata Engku Den. “Ini gaji Anda. Terima kasih. Terima kasih untuk pengabdian Anda di sini.”

Saya menerima amplop dari Engku Den dengan berat hati, kemudian saya keluar dari ruangan kepala sekolah itu dengan separuh pikiran.

Seharusnya saya bahagia karena kemarin Engku Den berjanji bahwa hari ini saya akan menerima gaji yang sudah enam bulan ditunggak. Janji itu benar-benar ditepati, sekarang ada amplop di tangan saya, tapi saya sedih.

Ada dua alasan mengapa saya sedih.

Pertama, saya sudah berjanji pada Kori istri saya bahwa saya akan mengajaknya ke kabupaten hari Sabtu nanti. Sebentar lagi tahun baru dan sudah tiga tahun baru berturut-turut dia tak punya baju baru. Saya tak mungkin membiarkan dia memakai baju yang sama pada empat natal dan empat tahun baru berturut-turut. Terlebih, satu-satunya baju bagus yang dia punya hanyalah blus coklat itu, yang warnanya telah memudar menjadi kuning karena setiap minggu dipakai ke gereja. Saya ingin membelikan blus baru untuknya di pasar kabupaten, saya ingin membuatnya bahagia. Hanya sekali setahun saya punya kesempatan membuatnya bahagia.

O, Tuhan, andaikata saya sampai di rumah nanti, dan bilang kepada Kori saya sudah tak mengajar lagi, dia pasti menolak untuk pergi ke kabupaten. Saya tahu wataknya, dia pasti meminta uang itu agar disimpan saja untuk beli ikan selama beberapa bulan ke depan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dia pasti bilang, “Blus ini masih bisa dipakai setiap minggu. Tahun depan saja kalau kita dapat uang lebih baru kita pergi ke kabupaten.” Setiap kali dia bilang begitu, saya selalu merasa gagal sebagai suami, saya tak bisa membelikan baju baru setiap bulan Desember. Saya tahu, Kori pasti paham dengan keadaan saya, tapi saya tak ingin membuat dia kecewa lagi. Saya hanya ingin membuatnya bahagia, tapi sulitnya bukan main. 

Memikirkan Kori saja, perjalanan saya dari ruangan kepala sekolah sampai ke kelas lima, tempat saya harus mengajar untuk terakhir kalinya siang itu, serasa setengah jam lamanya. Dan ketika tiba di depan kelas lima, saya memutuskan duduk sebentar di kursi dekat pintu masuk kelas. Saya harus mengatur kata-kata selamat tinggal yang tepat untuk siswa-siswa saya. Sesudah duduk, saya meletakkan buku Ilmu Pengetahuan Alam bersampul hijau di lutut lalu menatap buku itu, dan seketika saya teringat ayah lagi. Apakah saya sudah berhasil mewujudkan cita-cita beliau? Apakah beliau bangga terhadap saya?

Hati kecil saya berkata, “Tidak.” Saya belum menjadi Kepala Sekolah seperti beliau.

Ayah adalah alasan kedua saya teramat sedih siang itu: saya merasa gagal menjadi anak.

 

DULU, AYAH SAYA Kepala Sekolah di SD ini. Beliau adalah alasan saya menjadi guru. Beliau ingin agar saya menjadi penggantinya suatu saat nanti. Keinginan itu, beliau sampaikan cuma satu kali, saat saya masih kelas tiga SMP. Suatu sore, ayah menghampiri saya yang sedang makan di dipan belakang rumah. Ayah mengajak saya berbincang soal pelajaran sekolah, ayah banyak bertanya, saya sedikit menjawab. Saat itu saya tak suka ditanya-tanya.

Sesudah membahas tentang SMP dan rencana saya ke depannya, kemudian ayah bertanya soal cita-cita saya. Saya diam, saya emoh menjawabnya. Ayah pun bicara panjang lebar tentang harapannya pada masa depan saya. Kata-kata ayah terekam jelas sampai detik ini, air muka, intonasi suara, bahkan setiap jeda kata dengan titik komanya bisa saya reka ulang: “Saya mau kamu jadi guru ilmu pasti, mengabdi di kampung ini, berbagi dasar bagi anak petani di sini agar bisa sekolah tinggi. Sampai tibanya nanti, rambut kamu putih, kamu jadi guru tertinggi seperti ayah ini.”

Ucapan ayah itu saya anggap angin lalu, saya tak pernah bercita-cita menjadi guru dan menurut pemahaman saya saat itu, menjadi guru bukanlah pekerjaan untuk anak muda seperti saya. Saya bercita-cita menjadi pegawai negeri di kantor kecamatan atau kabupaten.

Alasan saya tak mau jadi guru saat itu adalah guru sulit makmur, saya menyaksikan kehidupan ayah sebagai guru yang jauh dari cukup. Gaji ayah sangat kecil, itu pun diterima beberapa bulan sekali, tergantung tukang pos datang atau tidak bulan itu. Kampung kami di pedalaman, sulit dijangkau. Kalaupun ada yang pergi ke kabupaten dan ayah minta tolong untuk diambilkan gajinya di kantor pos, yang dimintai tolong pasti meminta ‘uang jalan’, artinya gaji yang kecil itu semakin kecil.

Guru beda nasib dengan pegawai kecamatan, jika baju safari para guru biasanya sudah menguning dan lusuh karena terlalu sering dipakai, pegawai kecamatan selalu necis setiap saat dengan safari yang benar-benar warna coklat, safari yang selalu dilicinkan dengan setrika bara. Dapur para guru dan dapur pegawai kecamatan pun berbeda. Sampai ada ungkapan ketika saya masih kecil bahwa jika di meja makan ada nasi, maka seseorang akan berkata, “Wuih, ada makanan camat.” Saat itu, makanan utama kebanyakan masyarakat di kampung kami adalah pisang rebus atau sagu. Nasi adalah makanan orang makmur, dan mereka yang makmur adalah camat dan para pegawainya. 

Karena itu, sesudah lulus perguruan tinggi di Provinsi, saya pulang kampung, saya langsung melamar jadi honorer di kantor kecamatan agar ayah tak memaksa saya jadi guru. Dan selama itu, saya tak pernah alpa mengikuti tes pegawai negeri setiap tahun, mengajukan diri sebagai pegawai negeri di kecamatan, bukan guru. Malangnya saya, saya selalu gagal.

Saya berulang kali bertengkar dengan ayah karena keputusan saya itu. Beliau berkali-kali meminta saya mengubah pandangan saya dan menyarankan saya untuk menjadi guru SD di kampung saya, lalu ikut tes menjadi guru pemerintah atau berkebun saja kalau perlu. Menurut beliau, menjadi pegawai kecamatan adalah pekerjaan hina. Beliau adalah orang kolot yang memegang prinsip: “Orang-orang di kecamatan itu tahunya memeras masyarakat, kamu jangan jadi seperti mereka. Saya tidak sudi anak saya jadi penjahat.”

Saat itu, saya terlalu angkuh, sehingga saya tak acuh pada kata-kata ayah. Menurut saya, pemikiran beliau adalah pemikiran budak-budak Jepang, dan saya bertekad untuk membuktikan kepada ayah bahwa saya bisa menjadi orang jujur di kecamatan andaikata saya bisa menjadi pegawai resmi pemerintah. Lebih-lebih, sebagai sarjana pertama di kampung kami, saya tak sudi menjadi guru apalagi memanggul cangkul sementara saya punya ijazah tinggi.

Lihat selengkapnya