Anna
Welcome back to the office!
Langkah kakiku yang ringan memasuki lobi gedung berlantai sepuluh ini. Tas kerja di tangan kanan. Berkas-berkas di tangan kiri. Sejumlah rencana di kepala. Dan semangat pagi yang harus terus diisi.
Di dalam ruang divisiku yang luas ini, ada beberapa pintu menuju ruangan lainnya. Salah satunya adalah milik Pak Bagus. Ruangan itu juga jadi satu-satunya yang sudah tampak terang benderang. Pasti Pak Bagus sudah sampai nih. Soalnya, beliau selalu membuka tirai jendela supaya cahaya matahari masuk ke ruangan.
Baru saja kuletakkan tas kerjaku di atas meja. Panggilan dari Pak Bagus sudah masuk saja nih di interkom. “Halo, Pak?” sapaku, yakin banget kalau Pak Bagus yang memanggil.
“Siap, Pak,” jawabku singkat. Sama singkatnya dengan pesan beliau.
Di belakang meja, Pak Bagus menikmati sarapannya sambil menatap layar laptop.
“Pagi, Pak.” Aku menyapa dengan sopan.
“Eh, An. Udah sarapan?”
“Belum, Pak. Nanti sekalian ke pantry deh,” jawabku.
Pak Bagus menyuap satu sendok penuh lagi makanan ke mulutnya. “Bikinan istri ya, Pak?” tanyaku, berbasa-basi santai. Mohon jangan dianggap tidak sopan, karena Pak Bagus juga tak terlalu suka kekakuan.
“Iya nih, mau cobain? Apa mau dimasakin? Kalo kamu masakin orang sekantor juga boleh kali ya,” canda Pak Bagus. Beliau menepikan makanannya agar bisa lebih fokus dengan apa yang ingin dibahasnya. “Yang saya minta gimana, An? Bisa beres pagi ini?”
“Kalau agak telat sekitar satu jam bagaimana, Pak? Masih keburu nggak untuk dicek sebelum meeting?” Aku harus jujur soal keadaan pagi ini. Ada berkas yang dibawa oleh salah satu anggota timku dan ia mengabari kalau datang sedikit telat pagi ini.
“Lho, memangnya kenapa sampai harus telat satu jam?”
“Ada dokumen yang dibawa Yuke.” Aku memberi tahu.
“Yuke? Yang mana ya orangnya?” Pak Bagus tampak mencoba mengingat-ingat. “Oh, yang rambutnya sering dikuncir itu ya?”
Nah, beliau lebih mudah mengingat penampilan fisik ketimbang nama.
“Iya Pak,” jawabku cepat.
“Sering telat nggak dia?”
“Nggak sih, Pak. Ini juga telat karena masalah anak. Dan nggak pernah telat juga soal kerjaan.”
Pak Bagus manggut-manggut. “Ya udah saya percaya kamu. Tapi kalo bisa lebih awal lebih baik. Saya mau semuanya beres pagi ini karena siang nanti saya harus ke luar kantor.”
“Siap, Pak.” Aku menjaminkan kemampuanku di atas kepercayaannya.
Beberapa menit bersama Pak Bagus untuk memeriksa berkas keperluan meeting. Pintu ruangan diketuk dari luar. Setelah dipersilakan masuk, ternyata Yuke yang mengetuk.
“Yuke? Anak kamu gimana? Suami sudah pulang?”
Masih dengan napas sedikit terengah, Yuke masuk untuk menyerahkan berkas dokumen meeting. “Sudah, Mbak. Aku titip sama ibu kontrakan,” jawabnya.