Raka
Kita adalah kunang-kunang yang tersesat di tengah-tengah Ibukota.
Postingan kemarin malam mendapat respons yang sangat baik dibanding postingan-postingan gue yang lainnya. Gue membubuhkan foto jalan raya yang gue ambil dari JPO. Gelap yang diisi dengan lampu-lampu kendaraan bermotor yang benderang juga efek cahaya dari gedung-gedung bertingkat dan lampu jalan.
Seperti biasa, banyak komentar bernada puitis juga kicau-kicau galau di postingan gue. Dasar emang guenya yang suka bikin kalimat-kalimat puitis, jadinya followers gue ikutan kayak gitu deh. Gue membalas beberapa komentar yang menarik perhatian karena enggak mungkin juga dibalas semua. Satu postingan kelanjutan kunang-kunang tersebut sudah gue siapkan. Akan gue post nanti sore. Bergambar peron stasiun yang lengang, serta potongan kalimat pendek.
Kamu atau aku yang sedang menunggu? Kenapa kita tidak melangkah bersama untuk pulang?
Terinspirasi dari seseorang. Seseorang yang sering gue temui di stasiun tersebut. Yang selalu kelihatan sedang menunggu seseorang. Entah siapa. Yang seringkali duduk untuk waktu yang lama di peron tersebut. Entah untuk apa. Lalu dia baru akan naik kereta menjelang senja. Dan berhenti satu stasiun sebelum stasiun tujuan gue.
Dulu gue kira dia memilih untuk menunggu hari lebih sore supaya enggak berjubel bareng orang-orang yang baru pulang kerja. Tapi ternyata enggak.
Beberapa kali, kereta tampak lengang. Tapi dia enggak naik juga tuh. Sebaliknya pernah juga waktu ada gangguan di jalur kereta Serpong, dan bikin penumpang kereta numpuk dalam satu rangkaian, dan kenyataannya dia tetap naik kereta itu juga.
Sampai gue berkesimpulan bahwa yang dia lakukan adalah sebuah rutinitas. Ada ritual di dalamnya. Ritual dalam rutintitas. Tapi saat itu gue belum tahu apa dan kenapa?
Gue tertarik dengan apa yang perempuan itu lakukan.
Sejak hari dimana gue menyadari kalo apa yang dilakukannya itu enggak seperti orang-orang pada umumnya. Gue mulai mengamati sosok perempuan itu. Seringkali, setelah pulang kampus, gue memilih langsung buru-buru cabut supaya bisa segera sampai di stasiun.
Tujuan gue bukan pulang. Tujuan gue adalah dia. Dia yang sudah duduk bangku besi panjang di peron. Diam sendirian untuk jeda waktu yang sangat panjang. Dia enggak terpengaruh dengan suasana yang ada di sekitarnya. Pada lalu lalang orang, juga suara peluit petugas ataupun deru roda kereta di bantalan rel.
Dia hidup dengan dunianya sendiri. Seolah tempat ini lengang dan hanya ada dia satu-satunya. Dia dan entah kenangan atau kesendirian yang sudah dia pilih. Gue enggak pernah tahu.
“Kita adalah kunang-kunang yang tersesat di tengah-tengah Ibukota.” Gue mengucapkan kalimat tersebut dengan setengah sadar. Masih terjebak dalam lamunan tadi. Dan teman di sebelah gue langsung nyerobot berkomentar. Kenapa lo, Ka?”
Gue menarik pandangan dari handphone, menoleh ke dia. Bukan ke dia juga sih. Orang-orang yang lagi nongkrong di kantin ini ikut ngelirik gue sambil mesam-mesem. Oalah... gue ngucapinnya keras banget ya tadi? Hahahaha.
Wis... bodo amat lah. Udah terlanjur juga jadi pusat perhatian.
“Lo sehat?” tanya teman gue lagi.
“Alhamdulillah...” jawab gue santuy, menepuk-nepuk pundaknya, ngajak dia siap-siap masuk ke kelas yang baru mulai setengah jam lagi.
“Ngapain sih buru-buru?” tanya teman gue itu.
“Gue mau kelarin tugas buat besok.”
“Yailah, rajin amat sih lo.”