CITY LIGHTS

Robin Wijaya
Chapter #5

11.45

Anna

Everybody hates being trapped. Terutama jika terjebak di dalam meeting yang menjemukan.

Aku tipikal orang yang kerap membandingkan kualitas meeting yang satu dengan meeting lainnya. Menjadi asisten Pak Bagus membuat aku mesti menghadiri banyak meeting. Mulai dari meeting departemen sendiri, meeting koordinasi antar departemen, meeting-meeting besar perusahaan, sampai meeting di luar kantor atau ketika Pak Bagus harus bertemu klien.

Meeting juga membuat aku bertemu banyak orang, dan mengenal kepribadian dan karakter mereka. Aku bisa melihat bagaimana seseorang mempersiapkan dirinya, termasuk apa yang harus ia sampaikan hingga ke hal sederhana seperti bagaimana cara ia berpakaian, atau bahkan alat tulis apa yang ia gunakan untuk mencatat.

Simple, siapa diri kita kadang tergambar dari bagaimana cara kita membawakan diri di depan umum. Berkas yang tidak lengkap atau contoh gambar yang tidak disertakan menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mempersiapkan dirinya dengan baik dan cenderung menganggap sepele sesuatu. Typo menunujukkan kecerobohan. Meminjam alat tulis mencerminkan bahwa ia tidak peduli pada dirinya sendiri. Datang terlambat mengesankan bahwa ia tidak menghargai orang lain. Ini bukan sebuah kesimpulan sok tahu. Namun hanya analisa setelah bertemu banyak orang dari sekian banyak meeting yang kujalani.

Everybody hates being trapped. Meeting hari ini terasa tersendat-sendat dengan performa yang kurang baik dari beberapa divisi dan membuat bos besar perusahaan kami mesti mengoreksi dan melemparkan kritik beberapa kali. Sayang jika harus dibandingkan dengan divisi Pak Bagus. Bukan aku membelanya karna beliau adalah pimpinanku. Namun, memang performa Pak Bagus dalam meeting hari ini menjadi satu-satunya yang menonjol. Baik itu dari segi persiapan, presentasi, maupun simulasi.

Sudah kukatakan he’s a well-planned and well-organized person. Pernah kutanyakan sekali pada beliau, kenapa mesti bersusah payah melakukan sesuatu melebihi orang lain, sedangkan kebanyakan Kepala Divisi lain bermain aman dalam pekerjaannya di kantor. Pak Bagus dengan santainya menjawab, bahwa tanggung jawab terbesarnya bukan untuk pemilik perusahan, namun mereka yang berada di timnya.

“Jangan sampai performa saya yang buruk membuat divisi saya mendapatkan kerugian. Jika saya bekerja dengan baik, divisi saya juga akan berkembang. Dan itu artinya, ada banyak orang di bawah saya yang akan tertolong.”

So, bagaimana kami tidak mengagumi beliau sebagai seorang yang sangat peduli pada timnya? Aku secara pribadi menaruh respect yang sangat tinggi kepada Pak Bagus. Selain karena itu, ada sesuatu yang sifatnya subjektif yang menjadi penilaianku tersendiri. Pak Bagus, dengan posisi di kantor dan apa yang beliau miliki, bisa saja berbuat khilaf dan melakukan sesuatu yang bodoh. Seperti, selingkuh misalnya. Bermain api dengan perempuan lain baik itu di kantor ini maupun di luar sana. Namun jangankan untuk selingkuh. Belum pernah sekalipun kudengar candaan genit keluar dari mulut beliau. Atau sebuah perkataan yang mengejek bahkan melecehkan lawan jenis. I always thought that he’s a good guy anyway. Itu juga yang membuat aku dan banyak anak buahnya yang perempuan, tidak hanya merasa nyaman bekerja dengannya, tetapi juga merasa aman. Sekali lagi, hal ini terasa subjektif, namun penilaian tetaplah penilaian. Dan dengan kepribadiannya seperti itu, pantas rasanya jika Pak Bagus mendapatkan respect dari kami.

Well, meeting diakhiri sepuluh menit lebih awal. Penutup yang sedikit garing karena bos besar memilih menutup secara sepihak dan meminta beberapa divisi melakukan revisi proposal yang mereka ajukan hari ini. Pak Bagus, aku dan Yuke keluar dari ruangan meeting.

Congratulations, Pak. Delapan dari sepuluh poin disetujui.” Aku memberikan ucapan selamat kepada Pak Bagus, sementara Yuke yang baru kali pertama ikut meeting tampak belum bisa engage sepenuhnya.

“Semua kan karena kerja tim,” jawab Pak Bagus santai. “Thank you ya semuanya.” Ia berbelok ke ruangannya, sedangkan aku dan Yuke kembali ke kubikel kami.

Ponsel yang sedari tadi kuatur ke mode silent, meninggalkan jejak delapan missed call di layar. Aku memeriksa panggilan tersebut, dan semuanya dari Mama.

Kutarik napas panjang-panjang. Baiklah, aku akan menghubunginya sekarang.

Lihat selengkapnya