CITY LIGHTS

Robin Wijaya
Chapter #8

15.00

Anna

I call her. Finally.

Tadi sebelum jam makan siang, aku telepon Mama berkali-kali, namun tak diangkat. Aku mengiriminya pesan, namun tak juga dibalas. Aku paham siapa Mamaku. Ia bukan pengguna aktif ponsel. Ketika ia menelepon atau mengirim pesan ke orang-orang, itu karena saat itu ia memiliki waktu untuk ponselnya.

Saat aku menelepon tadi, suara Mama terdengar tenang-tenang saja. Tidak seperti orang yang tergesa-gesa karena butuh sesuatu, juga khawatir akan sesuatu. Sungguh berbanding terbalik dengan isi pesan dan jejak missed call yang ditinggalkannya.

Honestly speaking, aku tidak membenci Mamaku. Aku juga tidak berkonflik dengannya. Jika aku memilih untuk tidak bicara ditelepon dengannya, karena ada dua alasan. Pertama, Mama sanggup bicara super panjang kali super lebar di telepon. Bicara di telepon tak ubahnya seperti sedang mengobrol secara langsung ketika bertatap muka. Yang kedua adalah sulit bagiku untuk tidak memenuhi permintaannya jika ia menginginkan sesuatu.

Sebetulnya, tak ada yang sulit buatku. Kecuali satu hal, pulang.

Aku memilih untuk tidak pulang ke rumah. Entah sampai kapan. Tak ada batas waktu yang kutetapkan.

Selama setahun terakhir, aku hidup nyaman di tempat indekos. Aku mendapatkan apa yang kubutuhkan di sana. Waktu, privacy, kebebasan. Semua yang tak bisa kumiliki ketika aku pulang ke rumah Mama.

Going home is such a big deal for me. Dan sekali lagi kutekankan, ini bukan karena Mama, melainkan penghuni lainnya di rumah itu. Lelaki yang ada di sana. Papa tiriku.

Papa kandungku meninggal saat aku kelas sepuluh SMA. Mama menikah lagi tujuh tahun kemudian. Saat aku baru menyelesaikan kuliahku. Pernikahan yang tak bisa cepat kuterima, karena tak pernah ada pembicaraan tentang ini sebelumnya.

Aku tahu, hidup sendiri bukanlah perkara mudah. Namun yang telanjur ada di kepalaku adalah bahwa Mamaku tak akan menikah lagi. Ia sudah membesarkan aku dan adikku hingga kami duduk di bangku kuliah, bahkan hingga aku lulus. Lalu apa lagi yang dicari?

Entah.

Setelah ia menikah, lelaki itu datang ke rumah kami. Tak ada suasana yang sama lagi seperti dulu. Mama kini memiliki seorang yang harus dilayani di rumah. Aku dan adikku mulai kehilangan quality time bersamanya. Kehilangan yang lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan baru, selfish time. Aku tak lagi butuh percakapan. Yang aku butuhkan adalah kesendirian, ruang bagi diriku saja, kebebasan untuk diriku.

Dan aku pikir, rumah yang dulu menjadi tempat untuk kembali, sudah tak kubutuhkan lagi. Rumah adalah tempat untuk beristirahat setelah seharian bekerja. Dan untuk mendapatkan tempat beristirahat, aku tak perlu kehangatan di dalamnya. Aku tak perlu orang-orang. Aku hanya perlu tempat tidur yang empuk, ruang yang bersih dan harum, serta kebutuhan sehari-hari yang bisa kudapat dari toko kelontong atau mini market.

Hidupku otomatis berubah sejak saat itu.

“Mama mau nitip obat, An. Buat rematik. Belakangan sering kambuh nih,” ujar Mama di telepon tadi.

“Mama udah coba yang herbal aku beliin belum?”

“Udah. Dua kali. Tapi kayaknya nggak ampuh kayak obat.”

“Namanya juga herbal, Ma. Perlu waktu. Nggak bisa instan kayak obat. Tapi efek sampingnya kan lebih kecil.”

Lihat selengkapnya