Yuke
“Mbak Anna, aku pamit ya.”
Aku memeluk tas kerjaku sambil berjalan meninggalkan kubikel. Mbak Anna melambaikan tangannya dan mengucapkan hati-hati di jalan. Semua pekerjaan yang sudah beres dan izin yang diberikan membuat aku bisa meninggalkan kantor dengan perasaan lega.
Aku sudah memesan ojek online saat masih di dalam ruangan tadi, dan pengemudi berjaket hijau itu sudah siap ketika aku tiba di luar gedung. Ia mengangsurkan helm dan kami segera berangkat ke tempat biasa aku memesan kue untuk perayaan di kantor.
Sepanjang perjalanan ke toko kue, Mas Adi mengirim pesan beberapa kali, menanyakan apakah aku akan pulang seperti biasa atau telat sampai di rumah? Aku sudah bilang sama Mas Adi kalau aku dapat izin pulang lebih awal dan tak terlalu sore untuk tiba di rumah.
Stasiun menjadi persinggahan terakhirku sebelum tiba di rumah. Di peron nomor lima, aku menunggu commuter line tiba sambil menenteng kotak berisi kue tiramisu yang kubeli tadi. Selagi menunggu, pandanganku tidak sengaja menangkap sosok tetangga rumah kontrakan. Anak kuliahan bernama Raka yang tinggal bersama kakak laki-lakinya. Hanya berselang satu pintu dari rumah kontrakan aku dan Mas Adi.
Remaja itu sedang duduk di bangku, menopangkan kedua sikunya pada lutut. Bersebelahan dengan seorang perempuan mungil berambut panjang yang sedang berbicara padanya. Mereka tampak akrab dan saling tertarik satu sama lain. Aku tak menyapa atau memanggilnya, biar ia bisa menikmati waktu-waktunya. Toh, aku juga pernah melewati masa-masa itu, dan yang kurasakan hanyalah ingin menikmatinya berdua saja.
Saat kereta datang, aku memilih untuk langsung menaikinya. Raka dan teman perempuannya tetap di peron dalam percakapan yang tidak kunjung berakhir. Sudah lebih dari setahun lamanya kami bertetangga sejak Raka dikirim untuk kuliah di Jakarta oleh kedua orang tuanya. Anak itu sopan dan ramah. Ia sering menyapa Cyla ketika aku atau Mas Adi sedang menggendongnya di halaman. Menggoda Cyla dengan candaan-candaan sekalipun Cyla tidak meresponsnya. Sedikit berbeda dengan kakak laki-lakinya yang cenderung pendiam.
Aku menelepon Mas Adi dengan video call untuk mengisi kekosongan di kereta. Begitu telepon tersambung, Mas Adi menyapa dan langsung mengambil Cyla untuk didudukkan dalam pangkuannya. Cyla bereaksi dengan menjulurkan kedua langannya, hendak mengambil handphone Mas Adi. Seperti biasa, Mas Adi akan mengajarkan Cyla untuk bicara kepadaku melalui panggilan telepon.
“Mas, Cyla taruh aja dulu. Biar main,” ujarku pada Mas Adi, dan ia langsung menurutinya.
“Kamu nggak mau ngomong lagi sama Cyla?”
“Aku mau ngobrol sama kamu.”
“Ngobrol sama aku?”
Ekspresi Mas Adi tampak heran mendengar jawabanku. Aku mengulum senyum, meyakinkan Mas Adi bahwa aku memang hanya ingin ngobrol-ngobrol dengannya.
“Iya. Kenapa? Nggak biasa ya?”
Mas Adi tertawa kecil. “Ya... jarang banget kan kamu kalo telepon ngobrol sama aku.”
“Masa sih? Kan setiap hari juga aku telepon kamu, Mas.”
“Iya... kamu memang telepon aku. Tapi teleponnya buat ngasih tahu urusan rumah sama Cyla.”
Aku tertegun sejenak. Itu kah yang terjadi? Sudah selama itu kah aku membiarkan semuanya seperti ini? Hingga Mas Adi menganggap ini sebagai sesuatu yang biasa dan wajar adanya.
“Aku lagi ingat kamu, Mas. Dan lupa sudah berapa lama kita ngobrol buat diri kita berdua.”
“Kamu lagi kenapa, Yuk?” Wajah Mas Adi tampak lebih serius sekarang. Mungkin kalimat aku barusan membuatnya sedikit khawatir. Khawatir kalau aku sedang ada masalah atau hal lainnya. Padahal, aku memang benar-benar sedang mengingat dan memikirkannya.
“Aku nggak kenapa-napa. Aku cuma ingat kamu. Pengin cepat-cepat sampai di rumah, dinner, dan ngobrol berdua,” jelasku jujur.