CITY LIGHTS

Robin Wijaya
Chapter #10

17.20

 

Bagus

Jalanan macet dan Tora mengirim pesan reseh ke gua barusan. Hobi banget sih lo bikin gua nunggu terus. Tulis Tora dengan gaya ngomong yang udah bisa gua bayangin.

Gua orang yang tepat waktu, Man! Aslinya begitu. Cuma jalanan Jakarta aja yang enggak bisa diprediksi begini. Kalo ditanya ada guilty feeling atau enggak, pasti ada lah. Tapi guilty feeling gua bukan ke Tora sih. Lebih ke diri gua sendiri yang enggak bisa memanfaatkan waktu dengan maksimal. Meskipun semestinya gua enggak perlu juga menyalahkan diri sendiri, karena jalanan macet adalah sesuatu yang enggak bisa gua kendalikan. It’s out of my circle of influence.

Paling enggak tiga puluh menit lagi gua baru bisa sampai kios fotokopi Tora di Depok. Jemput Tora di sana, terus masuk tol dan pergi ke arah Bogor. Satu kamar hotel sudah disewa Tora dan kita siap check-in. Kalo ditanya kenapa harus milih hotel padahal Tora punya apartemen, jawabannya sederhana. Kita adalah tupai yang mesti loncat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Kalo kita sering nongkrong di apartemen Tora dan melakukan hal yang enggak-enggak, tentu akan mendatangkan kecurigaan.

Berpindah-pindah hotel juga enggak bikin Rara curiga anytime she wants to give me a call. Rara bisa lihat interior kamar hotel dan percaya kalo gua emang pergi untuk urusan kantor. As simple as that. Dan pilihan random juga membuat jejak-jejak kita jadi berantakan untuk dilacak.

Kalo ditanya, kenapa gua harus melakukan ini bareng Tora, dan apa aja yang kita lakukan kalo me-time berdua? Sebenarnya, nggak harus selalu tentang sesuatu yang negatif sih. Kita juga pernah kok enggak melakukan apa-apa. Misalnya cuma duduk-duduk doang di balkon apartemen Tora. Atau nongkrong di pub dan balik ke hotel pas dini hari. Kita pernah enggak mabok sama sekali malah. Terus ngobrol sampai besok paginya dan gua langsung berangkat kerja.

Emang, mostly kita ngegila bareng. And as I said, I really need this. Semua curahan hati gua udah gua tumpahkan semua ke Tora. He knows me from top to toe. Dan Tora itu pendengar paling baik yang pernah gua kenal selama ini. He never judge me for who I am. And he never do any single bully atau omongan-omongan yang enggak enak di hati. Dan lebih dari itu, dia juga mau aja ngelakuin apa yang pengin gua lakuin.

The biggest deal you need from people is acceptance. Dan yang membuat gua berada dalam kubangan pertanyaan-pertanyaan adalah, selama ini hidup gua buat apa kalo yang gua butuhkan adalah itu? Gue sekolah demi dapat gelar sarjana. Kerja di perusahaan bergengsi dengan posisi yang sangat nyaman buat kebanyakan orang. Menikah dengan seorang perempuan yang cantik dan anak yang lucu. Bukankah itu yang orang cari? Hell, yeah. Gua juga dulu berpikir begitu. Tapi ternyata bukan. Yang gua cari adalah penerimaan.

Speaking truth, gua enggak cuma butuh acceptance dari orang lain, melainkan juga dari diri gua sendiri. Yang gua lakukan dengan berlaku hidup ‘normal’ adalah cara gua menekan sisi lain dalam diri gua yang rusak. Gua bicara santun, gua bersikap manis di rumah, gua enggak gampang marah menghadapi kesalahan orang lain. Itu semua adalah cara gua me-repress siapa diri gua. Gua yang pernah melakukan hal-hal buruk ke orang lain, gua yang sampai sekarang melakukan dosa-dosa di belakang istri gua dan orang-orang yang percaya sama gua.

Mobil yang gua kendarai akhirnya berhenti juga di depan kios foto kopi. Tora sudah siap dengan jaket denim dan backpack di bahu kiri. Dia membuka pintu dan duduk persis di sebelah gua.

Ready?” tanyanya.

“Gua yang harusnya nanya lo. Siap buat malam ini?” tanya Tora.

“Lanjut...” jawab gua, menarik persneling dan menginjak pedal gas.

Lihat selengkapnya