CITY LIGHTS

Robin Wijaya
Chapter #11

17.50

Maria

Azan maghrib baru saja selesai dikumandangkan. Teh saya juga tinggal setengah cangkir dan sudah dingin. Saya duduk di meja makan sambil menunggu suara salam itu datang.

Sudah berkali-kali juga saya melongok ke luar rumah. Berharap ada sepeda motor yang berhenti dan melihat Guntur tiba. Tetapi, halaman rumah masih saja sepi. Hanya Yuke yang melintas sambil menganggukkan kepala. Lalu masuk ke rumah kontrakannya dan jalanan di depan rumah kembali lengang.

Selain melongok ke luar rumah, saya juga melihat jam dinding berkali-kali setiap hampir beberapa menit. Ponsel saya tergeletak di meja makan, saya bisa menghubungi Guntur kapanpun saya mau. Menanyakan di mana dia berada sekarang? Apa yang sedang dia lakukan? Pulang jam berapa? Tetapi hal itu urung saya lakukan.

Jari saya mengetuk-ngetuk meja makan. Beradu dengan kayu dan menjadi satu-satunya suara yang bisa saya dengar selain televisi yang bicara sendirian dari tadi. Kenapa saya tak melakukannya? Saya mempertanyakan itu ke diri saya sendiri. Saya ingin tahu. Saya berhak tahu. Tetapi suara hati saya yang lain berkata bahwa saya percaya pada Guntur. Dia tidak pernah berbohong selama ini. Dia mengatakan semua apa adanya. Kalau dia bilang akan pulang jam lima, maka dia benar-benar akan datang jam lima.

Saya masih terus menunggu.

Ini adalah pertama kalinya Guntur tidak tepat janji. Magrhib bahkan sudah bergeser semakin jauh. Padahal tadi siang dia bilang akan sampai rumah sebelum maghrib. Pikiran saya membayangkan kalau dia masih berada di rumah Naya. Bersenda gurau dengan anak-anak mereka. Atau salat maghrib berjamaah. Atau malah makan malam bersama, baru pulang ke sini.

Bagaimana kalau saya menelepon? Apakah Guntur akan mengangkat telepon saya? Apakah panggilan telepon saya akan mengganggunya? Kalau dia sampai harus menjawab, apakah Naya dan anak-anaknya akan bertanya?

Selama ini, sejak menikah dengan Naya, Guntur tidak pernah tidak pulang tanpa izin. Jika dia ingin menginap di rumah Naya, maka dia sudah memberi tahu sejak pagi harinya. Kalaupun dia terpaksa pulang sangat larut, biasanya karena anaknya sakit, atau karena Naya yang sakit. Walau saya bilang agar sebaiknya dia menginap saja di sana, tetapi dia menolak.

“Aku belum izin sama kamu,” jawabnya selalu seperti itu. Walau saya tahu, dia sebetulnya berhak untuk tidur di manapun jika dia mau. Dia berhak membagi jadwal atau jatah menginap untuk saya maupun Naya.

Jadi, haruskah saya mempermasalahkan hari ini? Haruskan saya mendebatnya jika dia pulang nanti? Sungguh, sebetulnya bukan perkara adil atau tidak. Bukan perkara Guntur menepati janjinya atau tidak. Ini adalah perkara perasaan hati saya sendiri.

Saya berharap, salat bisa menenangkan hati saya. Segera saya pergi berwudu dan menunaikan tiga rakaat serta dua salat sunah yang selalu Guntur lakukan dan dia anjurkan kepada saya juga. Saya mengangkat kedua tangan saya tinggi-tinggi. Berharap Allah memberikan ketenangan hati kepada saya. Berharap saya tidak mengikuti prasangka buruk yang dibisikkan setan. Berharap Guntur di luar sana baik-baik saja.

Baik-baik saja? Memangnya ada apa dengan Guntur?

Saya kok baru kepikiran tentang bahaya di jalan raya. Jarak rumah kami dan kios galon tidak dekat. Jarak ke rumah Naya juga tidak dekat. Paling tidak dua puluh sampai tiga puluh menit dengan sepeda motor. Apakah jalanan ramai? Apakah jalanan aman?

Usai berdoa dan melepas mukena. Saya pergi mengambil ponsel saya di meja makan. Saya akan menghubungi Guntur. Perasaan cemas menyelubungi hati saya. Hilang sudah rasa cemburu yang sejak sore tadi menghantui saya. Berganti dengan pertanyaan, apakah Guntur baik-baik saja?

Telepon tersambung. Saya menunggu. Tetapi Guntur tak kunjung menerima panggilan telepon saya.

 

* * *

Lihat selengkapnya