CITY LIGHTS

Robin Wijaya
Chapter #12

18.05

Anna

Ada hal-hal yang begitu menyenangkan dalam hidup ketika terjadi. Salah satunya adalah bertemu cinta.

Jakarta menjelang malam adalah Jakarta paling romantis yang bisa kita temui. Ia begitu cantik dengan lampu-lampu di sekujur kota. Setelah lelah hidup di pagi hari yang berdesak-desakan. Malam memberikan kita ruang untuk berkelana di tengah belantara cahaya.

Kita adalah kunang-kunang yang tersesat di tengah Ibukota.

Jika hidup tak mengenal istilah rumah. Maka orang tak perlu berbondong-bondong untuk kembali jika hanya sekadar menitipkan tubuh dalam lelap yang tak cukup membayar letih.

 

I love this account. Entah kenapa aku sedang gemar-gemarnya mengikuti akun-akun Instagram yang memuat tulisan-tulisan yang inspiratif namun dikemas dengan gaya bahasa yang puitis. Salah satunya adalah akun @thehanacaraka ini. Aku suka bagaimana sang pemilik akun berfilosofi tentang hidup. Menuangkan pandangan-pandangan dan pemikirannya tentang kehidupan, tentang manusia, tentang waktu dan sebagainya.

Sambil menunggu driver ojek online yang kupesan tiba, aku berkunjung untuk membaca tulisan-tulisan di Instagram-nya. Sampai sebuah sepeda motor berhenti tepat di hadapanku.

“Lho, kok beda?” tanyaku, saat si driver merapat ke tepi trotoar dan menarik kaca penutup helmnya.

“Iya Mbak. Ini aplikasi Bapak saya. Mbak… Mbak Anna, kan?”

Aku mengangguk. Ia menyodorkan helm hijau milik perusahaan angkutan daringnya. Sementara Aku yang tak kunjung melompat ke sepeda motor, membuat ia mencondongkan wajah bingung. “Takut ya?” tanyanya.

Sebuah pertanyaan retoris. Sudah barang tentu aku patut curiga. Di Ibukota, kita terlatih untuk tidak langsung percaya. Siapapun bisa menjadi penipu dan orang yang ditipu. Meskipun perusahaan pengelola telah menjaminkan keamanan, dan aplikasi yang kita gunakan memantau setiap pergerakan armadanya. Kewaspadaan tetap adalah yang utama.

“Bapak saya sakit tadi, Mbak. Muntah-muntah. Jadi saya yang gantiin. Kalau nggak saya gantiin, kasihan Bapak saya masuk ordernya sedikit.”

Aku tak menyahut. Aku ragu-ragu. Should I take this ride?

“Jadi nggak, Mbak? Kalau cancel akun Bapak saya bisa di-banned.” Ia sedikit memohon, dan masih dengan waspada, aku melangkahkan kaki juga.

“Adam itu Bapak saya, Mbak. Kalo saya namanya Andi.” Ia mulai berceloteh sekalipun suaranya terbang terbawa angin. “Bapak saya susah dibilangin. Maunya ngojek terus setiap hari. Padahal gampang masuk angin. Kayak sekarang ini, kalo nggak dipaksa pulang, pasti masih muter-muter terima orderan. Alasannya banyak. Padahal kalo cuma uang, kita anak-anaknya bisa kasih. Tapi ya begitu, kalo nggak cari uang sendiri, dia nggak mau. Nggak enak katanya.”

Lihat selengkapnya