CITY LIGHTS

Robin Wijaya
Chapter #13

18.30

Raka

Langit gelap. Gue berjalan ke luar stasiun. Tas berisi buku-buku kuliah dan satu jilid naskah yang gue ambil dari tempat foto kopi Bang Tora membuat pundak gue terasa pegal.

Tadi gue abis ngapain sih? Udah turun di Kebayoran, malah balik lagi ke Palmerah. Gue yang kayak orang gila jadinya. Berdiri di peron stasiun Palmerah, ngelihatin jalan keluar stasiun, sambil berharap Dita masih ada di situ.

Ya ilah... ngapain sih Rak? Kalo lo emang mau nemenin dia pulang, kenapa enggak turun bareng-bareng tadi? Terus, lo anterin dia sampai rumah.

Gue jadi ngomong sendiri ke diri gue. Terus gue diam saja sampai maghrib di stasiun Palmerah. Melamun kayak orang enggak punya kerjaan. Dengan perasaan yang campur aduk. Dengan banyak pikiran yang berjejalan di kepala.

Gue duduk di bangku besi panjang. Mengetik-ngetik tulisan yang dengan begitu lancarnya keluar dari kepala. Memasukkannya satu persatu ke laman instastory gue. Dilengkapi dengan sileut langit senja.

 

Ada hal-hal yang begitu menyenangkan dalam hidup ketika terjadi. Salah satunya adalah bertemu cinta.

Jakarta menjelang malam adalah Jakarta paling romantis yang bisa kita temui. Ia begitu cantik dengan lampu-lampu di sekujur kota. Setelah lelah hidup di pagi hari yang berdesak-desakan. Malam memberikan kita ruang untuk berkelana di tengah belantara cahaya.

Kita adalah kunang-kunang yang tersesat di tengah Ibukota.

Jika hidup tak mengenal istilah rumah. Maka orang tak perlu berbondong-bondong untuk kembali jika hanya sekadar menitipkan tubuh dalam lelap yang tak cukup membayar letih.

 

Yailah Rak. Katanya lo enggak lagi modus sama dia. Terus sekarang kenapa kalimat lo jadi galau semua? Lo suka ya sama Dita. Nah kan, kepala gue ngomong sendiri lagi.

Gue emang enggak mau modusin Dita sih. Cuma tiga jam tadi tuh berkesan banget buat gue. Sebagai sosok yang tadinya sebuah misteri, dan sekarang tahu-tahu malah mempersilakan gue untuk menjadi pendengarnya, gue kayak merasa semua penantian gue akan tanda tanya ini terjawab. Gue enggak mengharapkan datangnya hari ini. Tapi menanti. Menanti hari ini tiba.

Lima menit lewat dari jam enam ketika akhirnya gue menumpang kereta untuk turun di stasiun yang semestinya. Gue berjalan kaki dengan isi kepala dan hati yang masih sama. Direct message Instagram gue udah ramai. Berisi respons-respons dari story yang gue bikin tadi.

Ketika gue sampai di rumah kontrakan dan membuka pintu. Kakak gue yang biasanya cuek dengan kepulangan gue, kali ini langsung bereaksi spontan.

“Muka lo kusut banget,” komentarnya. “Abis darimana?” tanyanya lagi sambil melirik jam dinding yang sudah mendekati pertengahan pukul enam dan tujuh.

Gue meletakkan tas gue di lantai. Membuka sepatu dan langsung berselonjor.

“Lo abis ngapain sih?” tanya kakak gue lagi.

“Menanti,” jawab gue. Enggak peduli dengan reaksi dia berikutnya.

 

Lihat selengkapnya