Bagus
Bogor hujan.
Gua memasang kancing-kancing kemeja dan menyisir rambut dengan jari-jari tangan. Obrolan apa yang baru aja gua lewati bersama Tora? Bukan sekali ini aja kita ngomongin soal hidup. Kita malah sudah terlalu sering ngomongin masalah-masalah hidup. Tapi baru kali ini gua merasa obrolan kita jatuh sedalam-dalamnya pada titik yang paling tepat.
Tora keluar dari kamar mandi. Plastik bening yang tadi berisi obat sekarang sudah kosong. Tora membuang semua isinya ke dalam closet. Sementara plastik wadahnya dia bakar dengan korek api. Botol minuman keras sudah dikosongkan juga. Dia memasukkan botol bekas itu ke dalam backpack-nya.
Yang benar nih, kita ngelewatin malam ini dengan cara begini? Tanya gua dalam hati. Tora menghampiri gua yang sedang duduk di kursi. Lalu meletakkan sebelah tangannya di pundak gua, meremas perlahan, dengan wajah yang berusaha memberikan peyakinan.
“Jadi balik sekarang?” tanyanya. Gua mengangguk.
Tora lalu menarik kedua lengan gua, memaksa gua untuk berdiri. Dia lalu memeluk gua dengan erat. Sangat erat. Sambil berbisik di telinga gua.
“Mulai malam ini, gua janji, kapanpun lo mengajak gua untuk having quality time berdua. Bukan dengan cara begini kita melewatinya.”
“So, Tyler Durden[1] sudah tobat?” canda gua.
“Bukan Tyler yang tobat, tapi Edward Norton yang sadar kalo selama ini dia halu.”
Gua cuma nyengir mendengar komentar Tora. Kemudian menyandang tas, melangkah keluar kamar bersama Tora, dan check out.
* * *
Perjalanan menuju Jakarta diguyur hujan lebat. Jarak pandang menjadi terbatas dan gua mesti mengurangi kecepatan laju mobil dan menyalakan lampu hazard. Musik-musik yang populer di era 2000an diputar untuk mengusir suasana malam dan hujan yang mencekam.
Tora bersandar dengan santai di samping gua. Baju gua disemprot parfum berkali-kali sama dia untuk menyamarkan bau rokok.
“Ini bukan parfum gua loh. Nanti Rara bisa curiga,” protes gua saat di hotel tadi.