Yuke
Aku merapatkan selimut yang menyelubungi tubuh Cyla. Mas Adi juga sudah tertidur di sampingnya. Jam dinding menunjukkan sudah hampir pukul dua belas malam, dan aku perlu segera tidur agar tidak kesiangan besok pagi. Tidak enak kalau aku sampai harus izin lagi sama Mbak Anna.
Dua orang yang paling kucintai dalam hidup tampak begitu damai dalam lelapnya. Aku mengecup pipi mereka satu persatu. Mengusap rambut Cyla dengan lembut, dan memandangi garis wajah Mas Adi dengan seksama. “Selamat tidur,” bisikku kepada keduanya. Lalu ikut rebah dengan posisi Cyla di antara aku dan Mas Adi.
Aku memejamkan mata. Membayangkan kembali semua keindahan malam ini. Dari luar, suara binatang-binatang malam terdengar. Lampu di semua ruangan yang dipadamkan membuat cahaya bulan terasa begitu terang.
Rasanya, malam tidak pernah seindah ini. Aku mengucapkan doa dalam hati, dan menutupnya dengan amin berkali-kali. Meyakini, bahwa pemilik kehidupan ini adalah Maha Pemurah yang tak pernah ragu untuk mengabulkan doa-doa baik hambanya.
* * *
Bagus
Tepat pukul dua belas malam gua tiba di rumah.
Gua membuka pagar dan pintu rumah dengan kunci cadangan. Lalu masuk dan berniat untuk berganti pakaian sebelum menemui Rara.
Tetapi rencana gua berubah saat melihat lampu di ruang makan masih menyala. Gua mengira Rara lupa mematikan lampu. Tapi suara musik terdengar dari sana, memberi tahu gua kalo penghuni rumah ini belum tidur.
Gua masuk dan menemukan Rara sedang duduk di meja makan sambil menikmati es krim. Dia menoleh mendapati gua berdiri di sini. Dia tampak kaget melihat kehadiran gua.
“Mas? Kamu pulang?” tanyanya.
“Iya, Ra.” Gue menghampiri Rara. Ikut duduk di meja makan. “Kamu belum tidur?”
Rara menggeleng.
“Kenapa?”
“Nggak bisa tidur.”
“Ada yang dipikirin?”
Rara mengangguk.
“Apa, Ra?”
Rara menepikan es krim di hadapannya. Meneguk air putih di dalam gelas. Lalu memandangi gua cukup lama.
“Mikirin kamu, Mas. Memang kamu nggak mikirin aku?”
Mendengar jawaban Rara, gua enggak tahan untuk enggak langsung memeluk dia erat-erat. Mungkin Rara bingung dengan sikap gua. Tapi gua enggak peduli. Gua cuma pengin memeluk dia saat ini.
Setelah pelukan terlepas. Masih dengan ekspresi wajah yang bingung. Pandangan Rara beralih pada sesuatu di balik tubuh gua.
“Galonnya sudah diisi, Mas. Tadi anak buahnya Pak Guntur yang isiin.”
Gua langsung tertawa mendengar penjelasan Rara. Tapi lebih dari itu semua, gua merasa benar-benar bodoh karena tidak menganggap keberadaan seorang istri sebaik dan selucu Rara selama ini.
Gue berjanji, dan ini akan jadi awal buat gua. Gua akan selalu pulang. Bukan karena gua harus pulang. Tapi karena ada cinta yang menunggu gua di rumah.