"Dasar Makhluk Kegelapan! Tak bisakah kau membedakan antara warna merah tua dan merah maroon?!"
Kuembuskan napas panjang lalu tertawa kecil ketika melihat Nathan lagi-lagi memaki salah satu teman sekelas kami. Seorang bocah lelaki berkulit hitam dengan raut wajah ketakutan yang tampak jelas oleh mataku. Ada saja yang dipermasalahkannya dengan para siswa yang duduk di barisan paling belakang itu.
Kulihat Nathan memegang minuman botol berwarna merah tua. Namun, dari yang kudengar dia menginginkan yang merah maroon. Padahal, rasanya tak jauh berbeda.
Kotak bekal telah terbuka di atas meja tepat di hadapanku. Aroma masakan Ibu menguar menusuk indra penciuman. Tadinya sudah siap untuk menyendokkan ke dalam mulut, namun rasa laparku seakan lenyap entah ke mana. Perut yang semulanya minta diisi, kini mendadak kenyang setelah menyaksikan keributan di depan kelas.
Sebagian besar siswa di kelas—maju demi menonton pemandangan yang sebenarnya menyedihkan itu. Namun, entah mengapa mereka malah tertawa keras, bersorak gembira, bahkan bertepuk tangan.
Sebagian yang lain, duduk di belakang dengan kepala tertunduk. Memilih untuk berpura-pura tidak tahu, daripada menjadi sasaran selanjutnya. Aku yakin, mereka sangat ingin membela, tapi hal itu sama saja seperti menyerahkan diri pada singa jantan yang buas.
Kututup kembali kotak makan siangku, biarlah, nanti akan kumakan pada waktu istirahat kedua.
"Kembalilah ke kantin, dan tukarkan dengan yang merah maroon!" titah Nathan pada anak itu. Suaranya terdengar lantang di antara sorakan siswa yang lain.
Kerumunan tadi mendadak bubar setelah anak itu keluar dari kelas. Lalu, Nathan berjalan cepat ke arahku dengan wajah sebal. Bibir dia majukan, kedua tangannya pun terkepal, ikut menggambarkan kekesalan yang dia rasakan.
"Memang tidak bisa diandalkan! Hal kecil seperti itu saja bisa salah!" gerutunya, lalu dia duduk di bangku yang ada di depan mejaku.
"Bukankah akan lebih baik jika kau sendiri yang pergi, maka kau akan mendapatkan apa yang kau mau," balasku.
"Ah, Ian. Kau ini. Jika aku sendiri yang pergi ke kantin, lalu apa gunanya mereka di sini?" Ucapan itu keluar begitu ringan dari mulut Nathan.