City Of Evil : The Lost Justice

Blarosara
Chapter #1

Chapter 1 | Undesirable Fate

"Dasar Makhluk Kegelapan! Tak bisakah kau membedakan antara warna merah tua dan merah maroon?!"


Kuembuskan napas panjang lalu tertawa kecil ketika melihat Nathan lagi-lagi memaki salah satu teman sekelas kami. Seorang bocah lelaki berkulit hitam dengan raut wajah ketakutan yang tampak jelas oleh mataku. Ada saja yang dipermasalahkannya dengan para siswa yang duduk di barisan paling belakang itu.

Kulihat Nathan memegang minuman botol berwarna merah tua. Namun, dari yang kudengar dia menginginkan yang merah maroon. Padahal, rasanya tak jauh berbeda.

Kotak bekal telah terbuka di atas meja tepat di hadapanku. Aroma masakan Ibu menguar menusuk indra penciuman. Tadinya sudah siap untuk menyendokkan ke dalam mulut, namun rasa laparku seakan lenyap entah ke mana. Perut yang semulanya minta diisi, kini mendadak kenyang setelah menyaksikan keributan di depan kelas.

Sebagian besar siswa di kelas—maju demi menonton pemandangan yang sebenarnya menyedihkan itu. Namun, entah mengapa mereka malah tertawa keras, bersorak gembira, bahkan bertepuk tangan.

Sebagian yang lain, duduk di belakang dengan kepala tertunduk. Memilih untuk berpura-pura tidak tahu, daripada menjadi sasaran selanjutnya. Aku yakin, mereka sangat ingin membela, tapi hal itu sama saja seperti menyerahkan diri pada singa jantan yang buas.

Kututup kembali kotak makan siangku, biarlah, nanti akan kumakan pada waktu istirahat kedua.

"Kembalilah ke kantin, dan tukarkan dengan yang merah maroon!" titah Nathan pada anak itu. Suaranya terdengar lantang di antara sorakan siswa yang lain.

Kerumunan tadi mendadak bubar setelah anak itu keluar dari kelas. Lalu, Nathan berjalan cepat ke arahku dengan wajah sebal. Bibir dia majukan, kedua tangannya pun terkepal, ikut menggambarkan kekesalan yang dia rasakan.

"Memang tidak bisa diandalkan! Hal kecil seperti itu saja bisa salah!" gerutunya, lalu dia duduk di bangku yang ada di depan mejaku.

"Bukankah akan lebih baik jika kau sendiri yang pergi, maka kau akan mendapatkan apa yang kau mau," balasku.

"Ah, Ian. Kau ini. Jika aku sendiri yang pergi ke kantin, lalu apa gunanya mereka di sini?" Ucapan itu keluar begitu ringan dari mulut Nathan.

"Sudahlah, tidak ada gunanya berdebat denganmu." Aku mengakhiri obrolan singkat ini, karena memang tak akan ada manfaatnya bila diteruskan.


Seperti biasa, bel pulang sekolah berbunyi pada pukul tiga sore. Semua siswa mengantre untuk masuk ke dalam bus sekolah. Satu bus untuk satu kelas, cukup untuk menampung tiga puluh orang siswa.

Tidak hanya berlaku di kelas, di dalam bus pun para siswa berkulit hitam juga ditempatkan di bangku paling belakang. Aku tak mengerti, siapa yang membuat peraturan ini?

Sesekali aku menoleh ke belakang. Di perjalanan yang menurutku menyenangkan ini, mereka malah terlihat tertekan. Entah memang mabuk perjalanan atau merasa tak nyaman berada dalam satu bus dengan kami.

Dua tahun lebih empat bulan aku bersekolah di Loston High School. Namun, aku sama sekali tidak mengenal mereka lebih dekat, hanya tahu nama-namanya saja.

"Ian, apa kau punya waktu senggang malam ini?" tanya Otis, salah satu teman sekelas yang paling baik menurutku.

Aku berpikir sejenak sebelum menjawab. "Sepertinya, iya. Kenapa?"

"Hari ini kedua orang tuaku memperingati hari jadi pernikahan mereka yang ke dua puluh tahun. Rencananya kami akan membuat acara kecil-kecilan di belakang rumah. Apa kau mau ikut?" tawar Otis dengan antusias.

Aku tak langsung mengiyakan. Takut jika nantinya akan ada halangan dan tak jadi datang. "Kalau tidak ada hambatan malam ini, aku akan menghubungimu," kataku.

"Baiklah. Acaranya pukul delapan tepat. Hanya sekadar berkumpul keluarga dan teman sambil makan-makan. Ingat! Tak perlu membawa apa pun!" Otis mengangkat jari telunjuknya di depan wajahku.

Aku tertawa melihat tingkahnya. Suka berbuat baik, namun seperti tak ingin ada balasan. "Dimengerti!" ucapku lantang sambil mengangkat tangan kanan dan memeragakan gerakan hormat.

Tawa keras kami berbaur dengan riuh suara percakapan di dalam bus. Sementara di belakang sana, teman-teman berkulit hitam memandangi kami dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan. Aku tidak bisa menebak apa yang saat ini mereka pikirkan. Mungkinkah merasa iri dengan kami—orang kulit putih—yang tampak bebas menikmati hidup?


Lihat selengkapnya