Dering ponsel mengagetkanku. Kubuka mata perlahan sambil menguceknya. Ponsel yang berada di sebelahku masih berdering dengan suara keras, menyanyikan salah satu lagu dari band favoritku.
"Otis?" Aku mengerutkan dahi ketika membaca nama yang tertera di layar ponsel. Awalnya masih kebingungan, namun setelah melihat jam di pojok kiri layar, mataku membulat penuh. Aku langsung terduduk, rasa kantuk yang tadinya masih bergelayut manja, kini seakan terbang tertiup angin. Sekarang sudah pukul delapan kurang lima belas menit. Bisa-bisanya aku ketiduran selama ini.
Kutekan ikon dengan lambang gagang telepon berwarna hijau guna menjawab panggilannya. Lalu, ponsel kutempelkan ke telinga. Sesaat kemudian, suara Otis menyakiti telingaku. Dia berbicara setengah berteriak.
"Ian! Apa kau sudah berangkat?" tanyanya.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal ini sambil tersenyum kikuk. "Maaf, Otis. Aku ketiduran, baru saja bangun karena panggilanmu. Bahkan, aku belum mandi," jawabku merasa tak enak.
"Yah ...." Terdengar nada kekecewaan yang keluar dari mulut Otis.
"Aku akan bersiap sekarang. Mungkin akan sedikit terlambat, tapi aku akan datang," ujarku berusaha menghiburnya.
"Apa tidak masalah? Kau sudah tak mengantuk lagi?" cecarnya.
"Tidak. Lagipula aku memang harus bangun. Aku belum mandi dan makan."
"Baiklah, kalau begitu. Tidak perlu terburu-buru, kami akan menunggumu," ujar Otis.
Sangat lega mendengarnya. Otis memang tidak suka membesarkan masalah. Jadi, berteman dengan anak itu sangat menyenangkan.
Aku memutuskan panggilan lalu bergegas masuk ke kamar mandi. Aku mandi secepat kilat, hanya dalam kurun waktu lima belas menit, aku sudah rapi dengan kaos hitam dan celana jeans panjang.
Setelah memastikan semuanya beres, aku keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ruang keluarga. Biasanya Ayah dan Ibu sedang menonton televisi pada jam-jam seperti ini.
Setibanya di lantai dasar, sesuai dugaanku, mereka berdua duduk di sofa yang menghadap televisi.
Prinsipku, tidak peduli berapa usiaku, jika aku masih tinggal bersama Ayah dan Ibu, maka aku akan tetap meminta izin pada mereka sebelum keluar dari rumah. Jadi, aku menghampiri mereka dan menyampaikan niatku.
"Ayah, Ibu."
"Ian, kau sudah bangun," ucap Ibu.
"Ibu tahu aku ketiduran? Kenapa tidak membangunkanku?"
"Ibu pikir kau kelelahan, jadi tak enak bila mengganggu istirahatmu," Ibu menjawab.
Aku menganggukkan kepala, tak ingin memperpanjang masalah itu. "Baiklah, kalau begitu. Yah, Bu, boleh aku pergi ke rumah Otis?"
"Makanlah dulu, setelah itu, baru pergi," saran Ibu.
"Otis mengajakku makan-makan di rumahnya. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan Paman Anthony dan Bibi Jessie. Jadi, mereka membuat perayaan kecil-kecilan," jelasku.
"Benarkah? Kalau begitu, sampaikan ucapan selamat dari kami untuk kedua orang tua temanmu itu," ujar Ayah.
"Baiklah, Ayah, Ibu. Aku berangkat dulu, aku sudah terlambat sekarang," pamitku seraya melihat ke arah jam di pergelangan tangan kiri. Lalu, kucium pipi kanan dan kiri milik Ayah dan Ibu. Hal yang selalu kulakukan sejak masih kecil.
"Hati-hati, Sayang."
"Baik, Bu."
Kubuka garasi guna mengambil sepeda. Jarak rumah Otis dan rumahku tak terlalu jauh. Jadi, naik sepeda saja tidak akan membutuhkan waktu lama.
Sebelum kakiku mulai mengayuh, aku menyempatkan diri untuk mengabari Otis bahwa aku akan berangkat, lewat pesan teks. Setelah mendapatkan balasan pesan darinya, aku pun meninggalkan rumah, menyusuri jalanan yang cukup sepi.
Seperti biasa, para tetanggaku lebih suka berdiam diri di rumah saat malam hari seperti ini. Hanya ada beberapa orang remaja lelaki yang berkumpul di sebuah bangunan kecil yang menjadi basecamp mereka. Entah apa yang mereka lakukan di sana setiap malam. Ibu tak pernah mengizinkanku untuk bergabung dengan mereka. Khawatir dengan pergaulan anak-anak yang cenderung tidak baik itu.