Otis melerai perdebatan kami sebelum semuanya semakin rumit. Kami meninggalkan mini market setelah menghilangkan rasa dahaga. Nathan dan Freddie tampaknya masih marah padaku, mereka berdua berada di depanku dan Otis, mengendarai sepeda masing-masing dengan kecepatan di atas kami.
"Sepertinya mereka ingin meninggalkan kita," ujarku pada Otis.
"Biarkan saja, tidak usah dijadikan beban pikiran. Besok mereka pasti menegurmu lagi," balasnya.
Benar yang Otis katakan. Untuk apa aku memikirkan amarah mereka, toh yang kulakukan juga bukanlah suatu kesalahan.
Kini hanya tinggal kami berdua yang beriringan. Nathan dan Freddie sudah tak tampak lagi wujudnya. Mereka benar-benar meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun.
Jarak kompleks perumahan tempat kami tinggal sudah tak terlalu jauh lagi. Kami mengayuh sepeda perlahan, melewati perumahan kumuh yang letaknya di sebelah kompleks perumahan kami. Namun, ada jarak yang memisahkan, kira-kira dua ratus meter.
Perumahan ini diberi nama Perbatasan. Tempat orang-orang berkulit hitam yang tinggal di lingkungan sekitar kami. Bukan mereka yang memilih, tapi Kepala Daerah yang memutuskan mengumpulkan mereka di sini. Kurasa di wilayah lain juga begitu. Daerah mereka dibatasi, seolah orang-orang itu tak diizinkan untuk berbaur dengan warga sekitar, tepatnya ras kulit putih.
Kulihat anak-anak kecil bermain di pekarangan salah satu rumah, dua di antaranya terlihat familiar. Setelah menggali ingatan, ternyata aku pernah bertemu mereka beberapa hari yang lalu; saat di rumah Otis. Dua anak yang diberi potongan daging panggang oleh Bibi Jessie.
Aku merasa miris menyaksikan kehidupan mereka di sini. Tinggal bertumpuk, tanpa ada fasilitas layaknya di kompleks perumahan. Di kota yang memang kecil ini, ruang gerak mereka semakin terbatas.
Setelah melewati Perbatasan, kami memasuki kompleks perumahan yang jauh lebih sedap dipandang mata, Paradise Housing. Di sanalah kami tinggal, dengan segala fasilitas yang dapat digunakan untuk umum.
Rumah Otis adalah rumah yang pertama terlihat saat memasuki kompleks Paradise Housing. Berada di dekat pintu masuk yang tak memiliki gerbang, hanya ada tembok pembatas, juga seorang penjaga keamanan di sana.
Kami berhenti di dekat tanaman Acalypha Siamensis yang menjadi pagar rumah Otis itu. Dia tak langsung masuk, kami menyempatkan diri untuk mengobrol sebentar sebelum berpisah.
"Otis, bagaimana cara dua anak itu masuk ke sini?" tanyaku bingung. Karena tak mungkin penjaga keamanan itu mengizinkan mereka masuk.
"Maksudmu, dua anak di malam daging panggang itu?" Otis bertanya balik. Lalu, kubalas dengan anggukan.
"Di sudut bagian sana, temboknya ada yang hancur, ya ... muatlah untuk tubuh anak-anak itu," jawabnya.
"Kelihatannya mereka tidak takut mendatangi rumahmu," celetukku.
"Tentu saja. Mereka memang beberapa kali datang ke rumah. Ibu selalu memberi makanan dan camilan untuk mereka bawa pulang. Jadi, mereka sudah dekat dengan kami," jelas Otis.
Aku mengangguk paham, setelah itu berpamitan padanya karena sebentar lagi waktu makan siang tiba.
Kukayuh sepeda lebih cepat dari sebelumnya. Hari ini cukup lama kami bersepeda, hingga hampir tengah hari. Biasanya kami sudah pulang menjelang pukul sepuluh, karena terik matahari mulai menyengat di jam itu.
Tak sampai lima menit, aku sudah berada di pekarangan rumahku. Memasukkan kembali sepeda ke garasi, lalu mencuci tangan di keran samping rumah sebelum masuk ke dalam.
Sesuai dugaanku, kini Ibu tengah menyiapkan makanan di atas meja dekat dapur. Sementara itu, Ayah menunggu sambil membaca koran hari Minggu.
"Ada pemberontakan yang terjadi di pusat kota," ujar Ayah tiba-tiba. Aku yang hendak pergi ke kamar guna mengganti pakaian, lantas berhenti karena penasaran.
"Pemberontakan? Siapa yang memberontak?" tanyaku.
"Dua orang pekerja di bengkel mobil. Kabarnya beberapa hari yang lalu upah mereka dipotong tanpa alasan. Sudah mengajukan protes, tapi tak ditanggapi. Jadi, kemarin malam mereka mengobrak-abrik bengkel tersebut sebagai aksi unjuk rasa. Tapi, sekarang mereka sudah ditangkap," jawab Ayah.
"Mungkin bengkelnya sedang sepi. Pemasukan tidak cukup untuk membayar upah pekerja," sahut Ibu sambil meletakkan mangkuk sayur di atas meja makan.
"Ayah rasa bukan karena itu. Masalahnya hanya mereka berdua saja, yang lain tetap normal. Harusnya dibagi rata dengan pekerja yang lain supaya adil, setidaknya nominalnya tidak terlalu jauh dari yang lain," balas Ayah. "Tapi, ya ... apa yang bisa dilakukan kaum minoritas? Mereka hanya akan menjadi pihak yang tak boleh melawan," sambungnya.
Ah, lagi-lagi masalah perbedaan ras rupanya. Ya, Tuhan. Kapan kota ini berubah jadi lebih baik?