Apakah dunia harus berjalan seperti ini? Ketika kita mendapatkan teman baru, haruskah kita kehilangan teman lama?
Aku tidak suka permusuhan seperti ini. Tapi, aku juga tidak berniat membujuk Nathan agar mau berteman lagi denganku. Biarlah dia melakukan apa yang dia mau. Dia tak butuh nasihat, hanya perlu ditunjukkan bagaimana caranya menjadi warga kota yang baik.
Saat jam pulang sekolah, aku dan Otis duduk lebih dekat dengan Jeffrey dan teman-temannya. Sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah yang berbeda dengan kami, dua di antaranya adalah anak dari perumahan Perbatasan.
"Ian, jika Nathan tidak suka kau berteman dengan kami, lebih baik menjauh saja. Aku takut dia akan membuat masalah untukmu," ucap Jeffrey mengungkapkan kekhawatirannya.
Aku menyentuh pundak Jeffrey. "Tenanglah, Jeff. Selama yang kulakukan ini bukanlah hal buruk, maka tidak ada alasan bagiku untuk takut padanya, atau siapa pun yang punya pemikiran yang sama dengannya," balasku.
Kulihat raut wajah Jeffrey masih menyiratkan ketakutannya. Dia sedikit menunduk, matanya memandang liar ke bagian depan, di mana Nathan dan teman sekelas yang lain berada. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.
Beberapa menit berlalu, bus sekolah mulai melambat, lalu berhenti di depan pekarangan rumahku. Biasanya aku berpamitan pada Otis, Nathan, Freddie, dan teman-teman yang satu ras denganku saja. Namun, kali ini aku berpamitan pada mereka semua, kecuali Nathan dan Freddie.
Mereka berdua tampak membuang pandangan ke luar jendela saat aku dan teman-teman yang lain melakukan gerakan bro handshake.
"Aku duluan, teman-teman!" pamitku.
Setelah turun dari bus, sekali lagi aku melambaikan tangan. Terlihat Jeffrey menatapku dengan sorot matanya yang sayu. Ah, semoga saja Nathan dan yang lain tak mencari masalah dengan mereka.
Bus kembali melaju ke arah rumah Otis, setelah itu pasti ke Perbatasan.
Sore ini, matahari masih bersinar cerah. Hawa panasnya membuat keringatku bercucuran deras. Aku segera masuk ke dalam rumah untuk mengganti cairan yang hilang agar tidak mengalami dehidrasi.
Kakiku baru saja menapak di teras ketika tiba-tiba terdengar suara mobil Ayah mengarah ke garasi. Aku menghentikan langkah, menatap bingung ke arah Chevrolet Trax hitam itu dengan dahi berkerut. Siapa yang tidak bingung melihat ayahnya pulang di waktu yang tidak biasa? Maksudku, biasanya Ayah pulang kerja pukul tujuh malam. Sekarang, baru pukul tiga lewat dua puluh menit sore, dia sudah berada di rumah.
Ada yang aneh dari mobil Ayah, kaca bagian depannya ada retakan, walau tak terlalu jelas, tapi jika diperhatikan cukup kelihatan.
Ayah keluar dengan tergesa-gesa tanpa menutup kembali pintu mobilnya.
"Ian, masuklah!" titahnya dengan raut wajah cemas.
"Ada apa, Yah?" tanyaku. Rasa bingung tentang waktu kepulangannya saja belum terjawab, sekarang gelagatnya membuatku semakin heran.
"Nanti Ayah beri tahu. Sekarang masuklah! Kunci semua jendela dan tutup tirainya! Beri tahu juga pada Ibu!" desaknya.
Melihat kepanikan Ayah yang tampaknya tidak main-main, tanpa bertanya lagi aku segera masuk ke rumah. Sementara itu, Ayah membuka pintu garasi untuk memasukkan mobil.
Aku melangkah lebar-lebar, mencari Ibu. Ke dapur, kamar mandi, hingga halaman belakang, tetapi tak kutemukan jejak keberadaannya. Ah, mungkin dia di kamarnya, pikirku.
Dari halaman belakang aku kembali masuk ke rumah. Ternyata Ayah pun sudah masuk. Dia mengunci pintu lalu menurunkan tirai-tirai jendela.
"Kenapa belum kau lakukan yang Ayah perintahkan?" tanyanya.
"Maaf, Yah. Aku sedang mencari Ibu," balasku beralasan. "Sepertinya Ibu di kamar," imbuhku.
"Ya sudah. Pergilah ke kamarmu. Kunci juga jendelanya. Setelah kau membersihkan diri, datanglah ke ruang keluarga. Nanti Ayah jelaskan apa yang sedang terjadi," ujarnya sedikit lebih tenang. Tak lagi cemas seperti tadi.
"Baik, Ayah." Jujur saja, aku sudah tak sabar ingin tahu apa yang Ayah ketahui. Kenapa harus menunggu lagi?