Bibi Jessie memberi dua potong daging panggang pada anak-anak itu. Namun, kulihat mereka hanya memakan salah satunya. Aku mencoba memberanikan diri untuk berinteraksi dengan mereka, sedikit melawan perintah Ibu, mungkin tidak masalah.
"Hey, kenapa kau tidak memakan daging panggangmu saja?" tanyaku pada bocah lelaki yang kini ikut menyantap milik temannya. Teman atau saudaranya, entahlah.
Keduanya menoleh padaku secara bersamaan. "Untuk adik kami," jawab mereka ragu-ragu.
Awalnya aku bingung dengan jawaban itu. Setelah kucerna kata-katanya, ternyata mereka memang sengaja menyisakan untuk adik mereka di rumah.
Aku memandang ke meja hidang, masih ada sepotong besar daging panggang di sana, mungkin untuk kami semua pun masih terlalu banyak. Aku bangkit dari duduk, piring yang masih menyisakan setengah potong daging panggang kuletakkan di bangku rotan itu. Dengan langkah hati-hati, kuhampiri Bibi Jessie yang tengah sibuk menuang minuman ke dalam gelas.
"Bibi."
Wanita paruh baya itu lantas menoleh ke arahku. "Ya, Ian? Kau ingin tambah?" tanyanya.
Aku tersenyum kikuk, sebenarnya tak enak untuk mengatakan ini, tapi rasanya tak tega melihat dua orang anak kecil yamg sedang kelaparan, harus menyisakan makanannya untuk anggota keluarga yang lain.
"Anak-anak itu hanya menyantap satu piring daging panggang mereka, yang satunya akan dibawa pulang. Apa daging panggangnya akan bersisa?" tanyaku.
Bibi Jessie mengalihkan pandangannya ke arah dua bocah berkulit hitam itu. "Ah, terima kasih sudah memberi tahu Bibi, Ian," ucapnya sambil menyentuh bahuku.
Bibi Jessie kembali menghampiri anak-anak itu. Dia membungkuk sambil berbicara pada keduanya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku yakin itu adalah hal yang baik. Kulihat anak lelaki tadi mengambil piring yang semulanya diberikan untuknya. Kemudian, mereka melanjutkan makan dengan senyuman tipis yang terukir di bibir mereka.
Kubuang napas panjang sambil menatap haru pada Bibi Jessie. Seandainya kedua orang tuaku seperti mereka.